Kamis 13 Dec 2018 05:01 WIB

Apa Arti dan Konsekuensi Daftar Pemilih

Kepastian DPT adalah taruhan dari kualitas sebuah pemilu.

Karikatur DPT 2019
Foto: republika
Karikatur DPT 2019

Oleh: DR Margarito Kamis, Pakar Tata Negaea dan Staf Pengajar FH Univ. Khairun Ternate

   

Pemilihan umum, dalam pandangan konstitusionalisme Indonesia, bermakna sebagai cara konstitusional bangsa ini mencari dan menemukan jawaban baru, segar, dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini. Bukan hanya siklusnya, tetapi cara pemilu diselenggarakan, harus diletakan dalam medan kaidah dan moralitas konstitusi.

Menempatkannya dalam medan moralitas konstitusional khas UUD 1945, menimbulkan konsekuensi pemilu tidak dapat dipandang sebagai pesta, apapun namanya, termasuk pesta demokrasi. Tidak. Ini bukan pesta. Ini persoalan besar. Besar, karena hanya inilah cara yang tersedia bagi bangsa Indonesia, melegitimasi Presiden dan DPR, kelak bila terpilih, membuat keputusan untuk kebaikan hidup seluruh rakyat Indonesia.

Asas

Konstitusi tidak menyediakan jawaban defenitif tentang siapa yang  memilih, bagaimana cara memilih dan siapa yang dipilih. Konstitusi hanya menyediakan prinsip-prinsipnya, yang sesuai sifatnya sangat umum, dan sangat singkat. Soal selanjutnya diserahkan, didelegasikan kepada pembentuk UU, Presiden dan DPR, juga komisi pemilihan umum mengaturnya.

Pemilu akan kehilangan nilai sebagai sebuah cara beradab dan bermartabat, manakala, terutama para calon presiden, calon anggota legislatif, dan pemilih tidak memperoleh perlakuan jujur dan adil. Tidak bermakna sama sekali, bila pemilu tidak memberi kepastian terhadap bekerjanya kejujuran dan keadilan.

Menjadikan kejujuran dan keadilan sebagai jiwa, asas pemilu, karena pemilu terlahir sebagai hasil dari impian orang beradab dan bermartabat, tak memiliki nilai apapun, kala penyelenggaraannya tidak dituntun, dipandu  dengan standar tertentu. Standar itu, terukir indah dalam pasal 3 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.

Mandiri, jujur, adil, bekepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien, semuanya dinormakan pasal 3 UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai prinsip yang, mau atau tidak, harus tercermin pada seluruh tindakan hukum dan administratif penyelenggara pemilu. Sungguh, prinsip-prinsip ini, semuanya, indah dalam esensi dan sifatnya. Akankah seindah itu kenyataannya? Itulah soalnya.

Mandiri tidak pernah tidak menjadi tabiat orang jujur. Orang jujur tak pernah memiliki tabiat tidak adil. Tidak ada kejujuran dan keadilan yang tak bermuara pada kepastian. Kepastian tidak pernah tak menjanjikan keadilan dan kejujuran. Orang adil, sama dengan orang jujur, tak pernah memandang tindakan berlebihan sebagai hal wajar. Tidak. Orang—orang dalam langgam ini, selalu begitu, memukau nafasnya dengan memilih dan memilah tindakan secara seimbang, proporsional.

Mereka, tak mungkin tak mengerti betapa ketidak-pastian tidak bertautan dengan ketidak-jujuran. Mereka, tidak mungkin tak mengerti betapa ketidak-pastian dan ketidak-jujuran dapat diandalkan untuk mencapai hal-hal besar. Hal-hal besar, tidak pernah, dalam sejarahnya, menjadi pekerjaan orang kecil. Tidak. Hal besar adalah pekerjaan orang besar. Orang besar lahir dari peristiwa besar, dan peristiwa besar lahir dari orang-orang yang menuntun nafasnya dengan kejujuran dan keadilan.

Bereskanlah 

Tetapi sejarah pemilu, telah mencatat kebenarannya sendiri, disana-sini, tidak hanya dinegara demokrasi baru, di negara sekaliber Amerika sekalipun, pemilu acapkali diwarnai dengan tindakan-tindakan tidak jujur, tidak adil, dan sejenisnya. Menariknya, tindakan busuk ini, acap dikenali sebagai hal biasa dalam pemilu, sekadar sebagai luka kecil demokrasi. Keburukan-keburukan itu, selalu begitu sepanjang sejarah pemilu, segera berlalu bersamaan dengan pengumuman pemenang dan pesta kemenangan.

Benar, setelah sesudah itu muncul kerinduan untuk memastikan pemilu yang jujur, adil, dan berkepastian hukum. Tetapi seperti pemilu tahun 2014, rindu terhadap pemilu jujur, adil dan pasti, kini kembali terganggu dengan ketidakpastian jumlah pemilih dalam DPT. Bila pada tahun  2014 ketidak-pastian itu menunjuk pada angka 25 juta pemilih yang tak jelas dalam DPT, kini ketidak-pastian berputar pada angka 31 juta pemilih.

Jumlah penduduk saat ini, begitu yang diberitakan, yang wajib memiliki KTP-el sebanyak 189 juta, dan penduduk potensial menjadi pemilih pada April 2019 sebanyak 7 juta. Nalarnya, jumlah pemilih potensial sebanyak 196.545.636. Soalnya apakah 189 juta pemilih potensial saat ini semuanya telah memiliki KTP-el? Apakah penduduk potensial berusia 17 tahun pada hari Rabu, tanggal 17 April 2019, hari dan tanggal pemungutan suara pemilu, yang jumlahnya sebanyak 7 juta, juga telah memiliki KTP-el? Tak cukup jelas.

DPT pemilu kali ini, karena itu, menyandang sifat sebagai hal hukum yang tak pasti. Ketidakpastian ini, pada level tertentu, seolah memiliki pijakan dalam pasal 348 ayat (1) huruf c dan d UU Nomor 7 Tahun 2017? Ketentuan pada dua huruf ini membenarkan pemilih yang tak memiliki KTP-el, dan tak terdaftar dalam DPT dan DPT Tambahan  berhak memilih. Ketentuan ini, dalam penalaran hukum, bernilai hukum “menghapuskan, mengenyampingkan, menghilangkan hukum-hukum yang terdapat pada huruf a dan  b pasal ini.

Satu-satunya syarat memilih, sesuai huruf c dan d pasal 348 ayat (1)  tidak lain selain dan hanya itu yaitu pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah berusia 17 tahun. Ada atau tidak KTP-el, begitu juga terdaftar atau tidak, secara hukum bukan, sekali lagi, syarat hukum yang menentukan sahnya pemilih menggunakan hak pilihnya.

Pada titik ini, perdebatan mengenai angka 31 juta, yang tak jelas sifat dan status hukumnya itu, karena tak jelas apakah angka itu telah terserap ke DP4, tetapi belum terkonversi ke DPT, begitu juga fakta adanya 1700-an KTP-el yang ditemukan di Duren Sawit, Jakarta Timur, dan penjualan KTP-el di Lampung, serta 1000 lembar KTP-el yang ditemukan di pekarangan rumah Pak Zainal, warga Kampung Baru Kecamatan Pariaman Tengah, Kota Pariaman,  memiliki makna. Maknanya adalah ketidakpastian menjadi sifat hukum DPT pemilu ini. 

Kala ketidak-pastian melekat pada satu hal hukum, khususnya DPT pemilu, dengan cara apa para calon anggota legislatif, juga para pasangan capres dan cawapres ber pengharapan memperoleh angka sukses pada pemilu ini? Apakah berpengharapan merupakahn hal esensial dalam bagi setiap orang? Ilmu hukum merangkai kepastian hukum  dengan kehidupan masa depan setiap orang. Kepastian menjadi dasar setiap orang merencanakan masa depan kehidupannya. Itu sebabnya ilmu hukum tata negara menjadikan, menyematkan  kepastian hukum sebagai hak setiap orang.

Berkapasitas sebagai hak setiap orang, kepastian huku  itu, oleh pembentuk UU 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu menjadikannya sebagai prinsip penyelenggaraan pemilu. Menarik, prinsip itu disatunafaskan secara sistematik dengan asas jujur, adil, langsung, umum dan bebas. Apa konsekuensinya?

Ilmu hukum mengayakan khasanahnya dengan prinsip actus repugnus non potest in ese produci (tidak ada tindakan hukum yang bertentangan dengan asas hukum, menghasilkan hal hukum yang hakiki). Inilah soal hukumnya. Soal ini, dalam pandangan hukum bersifat fundamental, dengan konsekuensinya yang juga fundamental.

Bukan karena ketidak-pastian itu dapat merangsang lahirnya penilaian sebagai ancang-ancang kecurangan, tetapi ketidak-pastian, khususnya DPT, bernilai hukum penyelenggaraan pemilu tidak selaras dengan asas pemilu.   Hal hakiki apa yang dihasilkan dari tindakan hukum bertentangan dengan asas?

Disinilah letak fundamentalnya masalah ini. Akan sangat rumit bila calon anggota legialstif, capres dan cawapres saat ini tiba pada penilaian kongklusif bahwa karena DPT tidak berkepastian hukum, maka penyelenggaraan pemilu, sejauh ini, tidak selaras dengan asas pemilu.

Pemilu, begitulah hukum pemilu menyifatkannya, berakhir dengan siapa yang memperoleh legitimasi memangku, menyelenggarakan kekuasaan, dan siapa yang tersingkir. Kekuasaan memang memiliki kemilau yang khas. Tetapi harus dipercaya, kemilau kekuasaan, tak mungkin merangsang unsur-unsur utama pembuatan DPT, calon anggota legislatif juga capres dan cawapres menutup, membutakan hati dan mematikan akal sehat akan indahnya kejujuran, keadilan dan kepastian. Semoga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement