Jumat 03 May 2019 05:01 WIB

Gagasan Orang Islam Jadi Presiden

Gagasan orang Islam menjadi Presiden sudah muncul sejak konstitusi dibuat.

Rapat BPUPKI
Foto: dok. Istimewa
Rapat BPUPKI

Oleh: DR Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara dan Staf Pengajar FH Universitas Khairun Ternate.

Prabowo-Sandi, sejauh ini terlihat berjaya di daerah-daerah, yang entah bagaimana kriteria konstitusionalnya disebut daerah Islam, yang entah bagaimana pula kriteria konstitusionalnya disebut “garis keras.”

Terlepas dari diksi itu, Bung Karno pada sidang PPKI tanggal 15 Juli 1945 cukup jelas menyatakan “ummat Islam dipersilahkan bekerja keras mempropagandakan Islam agar presiden terpilih nanti adalah orang Islam.”

Konsisten dengan kerangka pikir itu, konstitusi hasil rancangan Panitia Perancang UUD 1945 memungkinkan, dalam sifat “menjamin” pemilih bebas menyatakan pilihannya.

Pilihan seseorang, dalam pandangan konstitusi, dikerangkakan pada hak yang juga dijamin secara konstitusional.  Kebebasan yang dijamin konstitusi ini, memungkinkan, bukan mengistimewakan, dalam pandangan Bung Karno, orang Islam, sekali lagi, terpilih jadi presiden. 

KH Maskur dan Bung Karno

Sepenggal kalimat Bung Karno di atas merupakan tanggapa beliau atas pandangan KH Haji Maskur. Dalam pandangannya Kiai ini menyatakan terdapat pertentangan antara dua pasal yakni pasal tentang Presiden dan sumpah pelantikan presiden.

Menurut Kiai Maskur, dalam kata-katanya “telah dinyatakan bahwa dalam Republik Indonesia ada kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Lalu saya membaca di dalam rancangan Undang-Undang Dasar in ialah yang terdapat dalam pasal 7, bahwa presiden itu bersumpah menurut agamanya.”

Maka dalam penilaian Kiai Maskur, sekali lagi dalam kata-katanya “disitu nyata terang" Presiden itu orang beragama apa saja boleh. 

Lebih jauh Kiai Maskur menyatakan, dalam kata-katanya “dengan demikian maka saya pikir keadaannya begini; kalau dalam Republik Indonesia ada kewajiban menjalankan sjariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, padahal Republik Indonesia ada dikepalai oleh orang beragama lain dari pada Islam, umpamanya; apakah keadaan itu dapat dijalankan dengan baik, atau apakah umumnya golongan Islam dapat menerimanya, dan apakah keadaan yang demikian itu tidak jahat?

Pandangan inilah yang membuat Pak Radjiman, pimpinan sidang pada saat itu, tangal 15 Juli 1945, sebagaimana termuat dalam buku Naskah Persiapan UUD 1945 dari Pak Profesor Muh Yamin. Pria pintar dari ranah Minang, Sumatera Barat ini, meminta Bung Karno menjawabnya.

Bung Karno, presiden pertama Repubik Indonesia, pria cerdas, yang nasionalismenya begitu hebat, dalam menanggapi pandangan Kiai Maskur itu selengkapnya memberi jawaban begini: Bung Karno menyatakan."Kalau Tuan Haji Maskur menanyakan hal itu kepada diri saya sebagai person Soekarno, saya seyakin-yakinnya bahwa presiden Indonesia tentu orang Islam. Tak lain dan tak bukan karena saya melihat dan mengetahui bahwa sebagian besar dari penduduk Indonesia ialah beragama Islam."

Lebih jauh Bung Karno menjelaskan, "bahkan dalam pidato saya di dalam sidang pertama, saya telah menganjurkan sebagai orang Islam supaya bekerja keras untuk mempropagandakan agama Islam sehebat-hebatnya dalam kalangan rakyat Indonesia, sehingga jikalau betul sebagian besar dari rakyat Indonesia itu jiwa berkobar  dengan api Islam, rohnya menyala-nyala dengan roh Islam, tidak boleh tidak, bukan saja presiden Republik Indonesia nanti adalah orang Islam, bahkan –saya berkata-  tiap-tiap undang-undang yang keluar dari pada badan perwakilan bercorak Islam pula."

             

Lanjut Bung Karno: "Marilah saudara, terutama sekali saudara-saudara dari fihak Islam, marilah kita menerima apa yang beberapa hari yang lalu saya namakan fair play ini. Mari kita bekerja keras; saya sebagai orang Islam, saya pun senang melihat jikalau agama Islam itu disini berkembang dengan sehebat-hebatnya. Saya kira, jikalau Kiyai Haji Maskur sudah merenungkan hal ini dalam arti seperti yang saya terangkan ini, tidak akan timbu sedikitpun syakwasangka."

Maka oleh karena itu, demikian Bung Karno melanjutkan tanggapannya,  saya menguatkan pendirian Panitia Perancang, bahwa inilah yang sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlemen agreement. UUD ini adalah penghormatan terhadap gentlemen agrement itu.               

Dalam kenyataannya “tujuh kata” dalam gentlemen agreement yang disebut Bung Karno itu, dengan berbagai pertimbangan, terutama demi kesatuan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia yang hendak diproklamasikan kala itu, diubah, dalam arti dihapus, sehingga rumusan sila pertama Pancasila menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, tanpa kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Sungguh elok, hebat kebesaran jiwa para pendiri republik ini. Mereka berkompromi demi kesatuan wilayah Republik Indonesia yang hendak diproklamasikan kala itu.

Pak Agus Salim dan KH Wachid Hasyim, dua tokoh hebat ini,  yang kala itu terlihat masih memegang teguh gentlemen agreement, kala itu tak meributkannya (lihat A.B Kusuma, seorang  Ahli Sejarah konstitusi Indonesia dari UI dalam bukunya yang berjudul Lahirnya UUD 1945).

   

Legitim dan Legal

Penggunaan atau penyaluran hak pemilih-pemilih beragama Islam kepada siapapun capres dan cawapres, harus diterima sebagai pilihan legitim dan legal.

Maka, katakan 'Hak ya hak', yang penggunaannya ditujukan kepada apapun yang secara hukum dan sosiologis diterima sebagai hal sah, tidak logis dipersoalkan. Pilihan yang disertai dengan pertimbangan, misalnya orang yang dipilih memiliki kapasitas membuat dirinya, kelompoknya aman, nyaman, makmur dalam segala aspek, merupakan pertimbangan yang legal dan legitim.

Pertimbangan-pertimbangan itu harus dilihat dan diletakan dalam kerangka jaminan pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Pasal ini, dalam esensinya memberi jaminan kepada setiap warga negara dewasa dalam menggunakan haknya memilih. Hak ini, dalam kerangka pasal 22E ayat (1) UUD 1945 merupakan hak yang memiliki bobot dan kapasitas konstitusional, sehingga  tidak dapat dikurangi, dengan, misalnya  paksaan atau apapun yang sejenisnya.

Soalnya adalah apakah suara-suara itu terkerangkakan dalam pasal 6A ayat (3) UUD 1945 atau tidak. Pasal ini secara tegas memerintahkan, bersifat wajib, sebaran perolehan suara capres dan cawapres, harus lebih dari 50%, yang minimum 20% tersebar lebih dari ½ lebih provinsi Indonesia. Esensi pasal ini adalah agar “kesatuan politik republik” terjaga.

Para pembentuk pasal 6A ayat (1) UUD 1945, sejauh yang teridentifikasi dalam perdebatan-perdebatan mereka di Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR, sama sekali tidak menunjuk karakter relijiusitas daerah-daerah di Indonesia.

Yang ditunjuk para pendiri bangsa kala itu, sekali lagi, hanyalah jumah penduduk, dalam kerangka mencairkan rasa 'Jawa' dan 'luar Jawa'. Untuk menjaga keindonesiaan mereka mewajibkan capres dan cawapres memperoleh suara, sekali lagi, lebih dari 50%, dan minimum 20% suara itu tersebar di lebih dari ½ provinsi di Indonesia.

Bila provinsi yang dimenangkan oleh capres dan cawapres itu, dalam kenyataannya, berpopulasi Islam dominan sekalipun, hal itu sah secara hukum, dan legitim secara sosiologis.

Mengapa? Bukan saja, sebagaimana dikemukakan Bung Karno, ummat Islam dipersilahkan berkerja sehebat-hebatnya agar berkorbar  api Islam atau roh Islam, tetapi  konstitusi sama sekali tidak memasalahkannya.

Konstitusi hanya mengharuskan kepada capres dan capres, sekali lagi memperoleh suara lebih dari 50% dengan minimum 20% tersebar di lebih dari ½ provinsi. Titik.

Dilihat dari sudut itu, maka pasal 6A ayat, dalam arti sosiologis memungkinkan daerah-daerah yang berpenduduk dominan ummat Islam, menjatuhkan pilihan pada capres tertentu, yang juga Islam, karena diyakini dapat memajukan Islam.

Hemat saya esensi gagasan pada  pasal 6A ayat (3) UUD 1945 itu adalah menjaga keutuhan negara kesatuan republik Indonesia. Begitu cara perumus pasal 6A, mencegah munculnya kekecewaan daerah luar Jawa terhadap Jawa.

Hebat, sekalipun Ummat Islam mayoritas, tetapi Bung Karno, juga para pembentuk pasal 6A ayat (3) UUD 1945, tidak mengistimewakan ummat Islam.

Pasal ini mengharuskan capres dan cawapres, tidak bisa tidak mendatangi, menyapa dalam kampanyenya selain semua provinsi di Jawa, juga Aceh, Sumatera Barat, Riau, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat,  NTT, NTB, Bali,  dan lainnya, karena itulah Indonesia.

Capres dan cawapres terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, bukan presiden daerah tertentu di Indonesia. Hal ini penting, sangat penting, sebagai kreasi politik paling manis, rasional dalam memastikan, merawat dan membuat hebat rasa kita sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia.

Saya tak mampu menyangkal bahwa pasal 6A UUD 1945 yang perumusan teknisnya dilakukan oleh sejumlah anggota MPR yang tergabung dalam Pantiia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR tahun 2001 ini, hebat. Hebat, karena pasal itu tak bicara Islam non Islam, apalagi bicara Islam dalam kerangka politik propaganda Barat; Islam radikal, moderat dan tradisional.

Juga makin hebat, karena pasal 6A UUD 1945 itu menunjukan kedewasaan anggota MPR mendefenisikan keadilan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka tahu tak ada bangsa yang tak dibangun dengan rangsangan keadilan.

Keadilan itulah yang semua bangsa didunia andalkan sebagai cara mempertalikan, dalam nada memperdalam dan menguatkan tali rasa kebangsaan.

Keadilan harus dirasakan oleh semua warga, terlepas dari agama, suku dan rasnya dalam kehidupan berbangsa dna bernegara.

Alhasil, dalam kerangka itu, daerah-daerah yang ummat Islam dominan, yang menjatuhkan pilihan pada Prabowo-Sandi, manisnya, terimalah sebagai sebuah takdir impian atas keadilan politik.Impian yang terlalu mahal harganya untuk ditertawakan.

   

Jakarta, 2 Mei  April 2019

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement