REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Kamran Dikarma, Lintar Satria
Amerika Serikat dan Israel kembali dipermalukan dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Majelis Umum PBB menggagalkan rancangan resolusi yang mengecam tindakan kekerasan kelompok Hamas terhadap Israel, Kamis (6/12).
Rancangan resolusi tersebut diajukan oleh Amerika Serikat (AS). Negeri Paman Sam meminta PBB mengutuk Hamas karena melakukan serangan brutal terhadap warga sipil Israel, memperburuk situasi perekonomian di Gaza, dan membatasi kebebasan berekspresi serta membungkam perbedaan politik. Dalam sidang umum, resolusi itu mendapatkan 87 suara dukungan, sedangkan 57 negara lainnya menentang dan 33 abstain.
Kendati mayoritas negara mendukung, sebuah resolusi membutuhkan dua pertiga suara dukungan dari negara yang hadir untuk diadopsi. Hasil pemungutan suara gagal melampaui tingkat yang dibutuhkan. Ini juga menjadi kali pertama AS gagal meloloskan resolusi terkait Hamas yang mereka anggap sebagai kelompok teroris.
Awal pekan ini, Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley menulis surat kepada negara-negara anggota PBB dan meminta mereka mendukung rancangan resolusi yang mengecam serangan Hamas terhadap Israel. "AS mengambil hasil dari pemungutan suara ini dengan sangat serius," kata Haley dalam suratnya, dikutip laman the New York Times, kemarin.
Sebelumnya, Haley pun telah mendesak Majelis Umum PBB untuk melayangkan kecaman terhadap Hamas. "Sebelum Majelis Umum dapat secara kredibel mendukung kompromi dan rekonsiliasi antara Palestina dan Israel, itu harus dicatat, tidak ambigu dan tanpa syarat, mengutuk terorisme Hamas," ujarnya.
Kendati gagal diadopsi, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menilai hal itu merupakan pencapaian penting bagi AS dan Israel. "Saya berterima kasih kepada Pemerintah AS dan Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley atas prakarsa itu," kata Netanyahu.
Gagalnya resolusi yang diajukan AS tersebut menambah daftar perlawanan terhadap kebijakan AS di Israel. Pada akhir 2017 lalu, AS terpaksa menggunakan hak vetonya saat 14 anggota Dewan Keamanan PBB secara bulat menyetujui resolusi yang menolak keputusan Presiden AS Donald Trump memindahkan kedutaan besar AS ke Yerusalem.
Sementara, pada Jumat pekan lalu, Majelis Umum PBB menyetujui enam resolusi yang dinilai melemahkan Israel. Dua resolusi di antaranya menolak hubungan historis Yahudi dengan Kompleks Masjid al-Aqsha dan Yerusalem. Resolusi itu didukung 148 suara, sementara 11 lainnya menentang dan 14 abstain.
Masjid al-Aqsha sejauh ini dikelola oleh wakaf yang didanai Yordania. Menurut status quo, umat Islam memiliki hak penuh untuk melaksanakan shalat di sana, sementara orang Yahudi diizinkan berkunjung tetapi tak boleh berdoa. Resolusi lainnya yang disahkan Majelis Umum PBB berkaitan dengan Dataran Tinggi Golan di perbatasan Israel-Suriah, pembagian hak asasi Palestina, dan penyelesaian damai atas masalah Palestina.
Resolusi kemarin diajukan menyusul eskalasi kekerasan di Jalur Gaza yang bermula dari operasi intelijen Israel yang berjalan tak sesuai rencana pada 11 November lalu. Tujuh warga Gaza yang juga merupakan anggota sayap militer Hamas serta satu perwira militer Israel (IDF) tewas dalam operasi intelijen yang berjalan tak sesuai rencana tersebut.
Selepas operasi itu, Hamas dan kelompok militan Jihad Islam meluncurkan ratusan roket ke wilayah Israel pada 12 November. Roket-roket itu mengenai sebuah bangunan di Ashkelon, bagian selatan Israel, dan menewaskan seorang warga Tepi Barat yang berkerja di Israel. Roket Hamas juga sengaja mengenai sebuah bus yang membawa 50 prajurit Israel setelah semua prajurit keluar dari bus.
Sebagai balasan, Israel kembali melancarkan serangan udara sejak Senin (12/11) malam hingga Selasa (13/11) dini hari. Serangan udara Israel yang tak hanya menyasar lokasi militer Hamas, tetapi juga mengenai bangunan perumahan, pertokoan, dan sebuah sekolah itu menewaskan enam warga Palestina.
Pada 14 November, milisi Palestina di Gaza dan pihak Israel sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Gencatan senjata dinilai sebagai kekalahan oleh pihak di dalam negeri Israel. Menteri Pertahanan Israel, Avigdor Lieberman, mengundurkan diri selepas gencatan senjata tersebut.
Atas hasil sidang umum kemarin, Hamas berterima kasih kepada negara-negara yang menentang resolusi yang diajukan Amerika Serikat untuk menghukum mereka. "(Kami meminta) semua negara yang mendukung pendudukan Israel dan pemerintahan (Donald) Trump untuk mempertimbangkan sikap mereka dan memperbaiki kesalahan mereka yang bersejarah dan besar terhadap rakyat Palestina," kata pernyataan Hamas, seperti dilansir CNN International, Jumat (7/12).
Hamas mengatakan, kegagalan untuk mengesahkan resolusi tersebut menjadi kegagalan serius atas kebijakan intimidasi pemerintahan Trump di kawasan Palestina-Israel. Otoritas Palestina juga menyambut baik penolakan Majelis Umum PBB atas rancangan resolusi AS.
"Kami tidak akan membiarkan kecaman terhadap perjuangan nasional Palestina," kata lansiran resmi Otoritas Palestina dalam sebuah pernyataan pada Jumat (7/12), dikutip laman kantor berita Palestina WAFA.
Faksi-faksi Palestina juga menyampaikan kritik terhadap rancangan resolusi yang disponsori Amerika Serikat tersebut. Faksi Palestina, dalam sebuah konferensi pers yang digelar di luar markas PBB di Kota Gaza, menilai rancangan resolusi itu hanya untuk melabeli perlawanan dan perjuangan Palestina sebagai tindakan terorisme.
"Rancangan resolusi yang bias terhadap pendudukan (Israel) bertujuan mengkriminalisasi kelompok-kelompok perlawanan Palestina dan menstigmatisasi mereka dengan tindakan terorisme," ujar salah seorang aktivis Palestina, Yousri Darwish, dalam konferensi itu, dilansir Anadolu Agency, Kamis (6/12).
Dia juga mengingatkan, resolusi AS akan memberi lampu hijau bagi serangan Israel bila diloloskan.
(umar mukhtar, ed: fitriyan zamzami)