REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo Harahap menyatakan keheranannya soal mengapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) enggan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus penyerangan Novel Baswedan. Padahal, kasus tersebut menjadi ujian bagi pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
"Saya tidak tahu mengapa Presiden tetap tidak mau membentuk TGPF. Padahal di sinilah komitmen pemerintah diuji, apakah pro atau tidak dalam pemberantasan korupsi," kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (7/12).
Yudi juga mengatakan, Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI dengan nomor register: 0106/IN/III/2018/JKT semakin membuat Wadah Pegawai KPK yakin bahwa TGPF yang independen merupakan satu-satunya solusi untuk mengungkap pelaku kasus teror terhadap penyidik senior KPK Novel.
"Ombudsman RI di dalam LAHP-nya justru telah menguatkan keraguan masyarakat bahwa kasus akan terungkap melalui kesimpulan 'walau secara proses serius dan benar, tidak berarti kasus pasti terungkap'," ujar dia dalam keterangannya.
Kasus teror terhadap Novel Baswedan, lanjut Yudi, tidak hanya teror kepada KPK tetapi juga kepada negara dan pemerintah. Dia mengingatkan penyiraman air keras tersebut dilakukan kepada aparat penegak hukum yang sedang ditugaskan oleh negara untuk memberantas korupsi.
"Negara dan pemerintah Republik Indonesia tidak boleh kalah oleh teror. Negara Republik Indonesia tidak boleh menjadi tidak berdaya di hadapan dua orang pelaku penyiraman air keras di Subuh buta itu," papar dia.
Komisioner Ombudsman RI Adrianus Meliala menyampaikan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan terkait penanganan kasus Novel oleh jajaran Polsek Kelapa Gading, Polres Metro Jakarta Utara dan Polda Metro Jaya, Kamis (6/12) kemarin. Dalam laporan itu, Ombudsman menemukan maladministrasi dalam penyidikan kasus tersebut.
Ombudsman menemukan empat poin maladministrasi penyidikan. Salah satunya, penundaan yang berlarut-larut dari kepolisian terhadap kasus Novel karena tak ada penetapan masa penugasan pada surat perintah tugas. "Masyarakat pun bingung, kasus Novel Baswedan ini sudah ditangani sejauh mana," paparnya.
Selain itu menurut Adrianus, pemanggilan kembali terhadap Novel sebagai saksi korban juga penting dilakukan. Sebab ada beberapa keterangan yang berpotensi menjadi petunjuk baru. Selama ini, kata dia, Novel banyak berbicara di media massa.
Karena itu, Adrianus menuturkan, kini saatnya penyidik memanggil lagi dan menanyakan kembali ihwal peristiwa dari sisi korban untuk kemudian dicantumkan ke berita acara perkara (BAP). Keterangan yang perlu dikonfirmasi kembali ini, menurutnya meliputi insiden percobaan penabrakan yang dilakukan sebuah mobil.
Insiden itu terjadi pada awal Ramadhan 2016 di area Jalan Boulevard Kelapa Gading. Karena sebelum disiram air keras, lanjut Adrianus, Novel menyebut sempat ada upaya penabrakan sebanyak dua kali terhadap dirinya pada 2016.
Saat ditanyakan oleh awak media terkait kasus Novel, Presiden Jokowi mengaku telah mendapatkan laporan dari Kapolri mengenai perkembangan penyelidikan. "Saya sudah mendapat laporan mengenai progres perkembangan dari Kapolri yang juga sudah bekerjasama dengan KPK, Kompolnas, Ombudsman, Komnas HAM," kata Jokowi di Jakarta, Selasa (4/12).
Kendati demikian, dia meminta awak media untuk menanyakan lebih lanjut perkembangan penyelidikan kasus ini ke Kapolri Tito Karnavian. Begitu juga terkait desakan pembentukan TGPF, Jokowi meminta agar ditanyakan lebih lanjut ke Kapolri.
"Selama Kapolri belum menyampaikan seperti ini ke saya, ya silakan ditanyakan ke Kapolri," ucapnya.