REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana menindaklanjuti tiga putusan soal syarat pencalonan anggota DPD dalam satu naskah peraturan. Nantinya, peraturan itu dituangkan dalam bentuk surat keputusan (SK).
Menurut Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, ada sejumlah opsi untuk menindaklanjuti putudan Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan PTUN. Salah satu opsi yang disiapkan yakni menindaklanjuti tiga putusan lembaga peradilan itu dalam satu naskah.
Opsi ini, kata Wahyu, akan mengakomodasi putusan PTUN dan MA dengan memasukkan calon anggota DPD dari pengurus parpol ke dalam daftar calon tetap (DCT) Pemilu 2019. Kemudian, KPU juga akan mengakomodasi putusan MK di mana pengurus parpol tidak boleh menjadi anggota DPD.
"Sebab tidak boleh ada rangkap jabatan. Maka kami akan mengambil langkah moderat dengan melaksanakan semua putusan tanpa harus bertabrakabrakan antara putusan yang satu dengan putusan lainnya," tegas Wahyu.
Karena putusan MA dan putusan PTUN terkait dengan gugatan Oesman Sapta Odang (OSO), maka Wahyu lantas memperinci contoh opsi tersebut. "Kami laksanakan semua putusan dalam satu formula aturan. Misalnya, OSO kami masukkan dalam DCT Pemilu 2019 sehingga bisa muncul di surat suara. Kemudian nanti putusan MK bisa diterapkan jika yang bersangkutan terpilih menjadi anggota DPD. Saat itu dia harus undur diri (sebagai pengurus parpol)," jelasnya.
Mekanisme ini, menurutnya mengadopsi logika penyerahan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Menurut peraturan KPU, LHKPN harus diserahkan oleh caleg terpilih yang akan dilantik menjadi wakil rakyat.
Dengan demikian, pencalonan dari OSO sebagai anggota DPD bisa tetap diproses. Begitu pula dengan putusan MK yang tidak mengizinkan pengurus parpol sebagai anggota DPD.
Meski demikian, Wahyu mengingatkan bahwa opsi ini merupakan satu dari sekian pilihan untuk menindaklanjuti tiga putusan lembaga peradilan. Wahyu menuturkan KPU pun menyiapkan opsi-opsi yang lain.
Kepastian sikap KPU akan disampaikan pada Selasa (27/11). Sebab, pada Senin tujuh komisioner KPU belum berkumpul seluruhnya.
Namun, saat disinggung apakah opsi ini yang cenderung akan diterapkan oleh KPU, Wahyu membenarkannya. "Kira-kira begitu. Kecenderungannya adalah melaksanakan semua putusan tanpa harus bertabrakabrakan. Nantinya, sikap kami akan disampaikan dalam bentuk SK," ungkap Wahyu.
Sebelumnya, MA menyatakan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD tidak bisa diberlakukan. Alasannya, syarat pencalonan yang tertuang dalam pasal 60 A PKPU tersebut bertentangan dengan pasal 5 huruf dan dan pasal 6 ayat (1) huruf I UU Pembentukan Peraturan Perundangan Nomor 12 Tahun 2011.
Putusan atas gugatan yang diajukan oleh OSO ini juga menyebut bahwa pasal 60 A memilikin kekuatan hukum yang mengikat. Namun, MA menegaskan pasal ini berlaku umum sepanjang tidak diberlakukan surut kepada peserta pemilu calon anggota DPD yang sudah mengikuti rangkaian Pemilu 2019.
Setelahnya, pada 14 November 2018 PTUN memutuskan mengabulkan gugatan OSO terkait pencalonan anggota DPD. PTUN juga menyatakan Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 tertanggal 20 September 2018 dibatalkan.
Selain itu, PTUN meminta KPU mencabut mencabut surat keputusan Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tanggal 20 September 2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019. Selanjutnya, PTUN meminta KPU menerbitkan keputusan Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang baru yang mencantumkan nama OSO sebagai Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019.
Kedua putusan itulah yang sampai saat ini menjadi polemik dan belum ada tindaklanjut dari KPU. Sebab, di sisi lain ada putusan MK yang berbeda dengan putusan MA. Putusan MK juga tidak sejalan dengan putusan PTUN.
Adapun putusan MK menyatakan mengabulkan permohonan uji materi atas pasal 128 huruf I UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Menurut MK, pasal 182 huruf I tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan inkonstitusional. Pasal itu menyebutkan bahwa calon anggota DPD tidak boleh memiliki 'pekerjaan lain'.
Pekerjaan lain yang dimaksud yakni tidak melakukan praktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang atau hak sebagai anggota DPD.