REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asisten Deputi Perlindungan Anak Berhadapan Hukum dan Stigmatisasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ali Khasan mengatakan anak korban tindak pidana berhak mendapatkan restitusi. Restitusi adalah pembayaran ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana.
"(Restitusi) berdasarkan putusan pengadilan atas kerugian materiil atau imateriil yang diderita anak korban," kata Ali melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (22/11).
Ali mengatakan dasar hukum pengenaan restitusi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang pelaksanaan Restitusi bagi Anak Korban Tindak Pidana. Menurut Peraturan tersebut, penyidik dan penuntut umum dapat membantu korban mendapatkan restitusi.
Anak yang berhak mendapatkan restitusi adalah anak berhadapan dengan hukum; anak korban eksploitasi ekonomi dan seksual; anak korban pornografi; anak korban penculikan, penjualan, atau perdagangan orang; anak korban kekerasan fisik atau psikis; dan anak korban kejahatan seksual. "Yang dapat mengajukan restitusi adalah anak korban, orang tua atau wali anak korban atau ahli waris anak korban, orang yang diberi surat kuasa khusus," jelasnya.
Ali mengatakan pengajuan restitusi harus memuat identitas pemohon, identitas pelaku, uraian tentang peristiwa pidana yang dialami, uraian kerugian yang diderita dan jumlah restitusi yang diminta. Tuntutan restitusi bisa diajukan sebelum putusan pengadilan, melalui penyidik, penuntut umum atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Setelah putusan pengadilan pengajuan restitusi harus dilakukan melalui LPSK," tuturnya.