Rabu 21 Nov 2018 18:56 WIB

Politikus Partai Golkar Divonis 8 Tahun Penjara

Atas vonis tersebut, Fayakhun dan JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari.

Anggota DPR RI non-aktif dari Fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Anggota DPR RI non-aktif dari Fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR RI non-aktif dari Fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi divonis delapan tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar subsider empat bulan kurungan ditambah pencabutan hak politik. Hakim menyatakan, Fayakhun terbukti menerima suap 911.480 dolar AS karena pengurusan anggaran di Badan Keamanan (Bakamla).

"Mengadili, menyatakan terdakwa Fayakhun Andriadi telah terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara berlanjut sebagaimana dakwaan primer. Menjatuhkan pidana terhadap Fayakhun Andriadi dengan pidana penjara selama delapan tahun dan denda Rp 1 miliar dengan ketentuan bila tidak dibayar diganti kurungan selama empat bulan," kata Ketua Majelis Hakim Frangky Tumbuwun di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (21/11).

Vonis itu masih lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang meminta agar Fayakhun divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar subsider enam bulan. Hakim juga mengabulkan permintaan JPU KPK yang meminta pencabutan hak politik Fayakhun.

Sebab, hakim menilai, Fayakhun sebagai legislator seharusnya menjadi suri teladan kepada rakyat pada umumnya dan konsituennya secara khusus. "Perbuatan terdakwa mencederai kepercayaan rakyat yang memberikan suara kepada terdakwa, sehingga mendapat jabatan publik. Menjatuhkan hukuman tambahan, yaitu pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun terhitung terdakwa selesai menjalani pidana pokok," tambah hakim Franky.

Putusan itu berdasarkan dakwaan pertama pasal 12 huruf a UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Majelis hakim yang terdiri atas Franky Tumbuwun, Emilia Djajasubagja, Iim Nurohim, Ansyori Saifuddin, dan M Idris. M Amin juga tidak mengabulkan permintaan Fayakhun untuk menjadi pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator alias JC).

"Terdakwa tidak dapat diklasifikasikan sebagai 'bukan pelaku utama' dan majelis tidak menemukan penuntut umum mengabulkan permintaan terdakwa sebagai justice collaborator, baik di surat tuntutan maupun surat-surat lain, sehingga dengan dasar itu permohonan JC tidak dapat dikabulkan," kata hakim Ansyori.

Namun, hakim mengabulkan permintaan pembukaan rekening-rekening Fayakhun di Bank Mandiri, CIMB Niaga, Bank Bukopin, Citibank, dan Permata Bank. "Rekening-rekening itu tidak terkait dengan perkara ini, terdakwa sebagai kepala keluarga memiliki seorang istri dan tiga orang anak yang menjadi tanggungan terdakwa, sehingga menurut majelis rekening-rekening itu bisa dibuka agar keluarga dapat memanfaatkan pembukaan rekening untuk kehidupannya," tambah hakim Ansyori.

Dalam perkara ini, Fayakhun Andriadi selaku anggota Komisi I DPR periode 2014-2019 menerima seluruhnya sebesar 911.480 dolar AS yang telah dijanjikan sebelumnya dari Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah agar mengupayakan alokasi (plotting) penambahan anggaran Bakamla untuk proyek pengadan satelit moniotring dan drone di APBN Perubahan 2016.

Pemberian uang itu diawali dengan pertemuan antara Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah, staf operasional PT Merial Esa M Adami Okta, dan staf khusus Bakamla Ali Fahmi Al Habsy di kantor PT Merial Esa.

Ali Fahmi menawarkan proyek di Bakamla kepada PT Merial Esa dan ditanggapi bahwa perusahaan itu adalah agen pabrikan Rohde and Schwarz Indonesia untuk alat komunikasi khusus.

Ali Fahmi pun meminta commitment fee sebesar 15 persen dari nilai pagu proyek. Sekitar April 2016, Fayakhun bertemu dengan Ali Fahmi di Bakamla dan meminta agar Fayakhun mengupayakan usulan penambahan alokasi anggaran dalam APBNP 2016 dengan imbalan fee sebesar enam persen dari nilai anggaran.

Selain Ali Fahmi, Direktur PT Rohde and Schawrz Indonesia, Erwin Arief juga meminta pengupayaan yang sama pada April 2016 yang nantinya dikerjakan oleh Fahmi Darmawansyah serta dijanjikan tambahan fee dari Fahmi untuk Fayakhun.

Pada 29 April 2016 Fayakhun memberitahu Fahmi ada respons positif terhadap tambahan anggaran yang diajukan Bakamla senilai total Rp 3 triliun, termasuk proyek satelit monitoring (satmon) dan drone senilai Rp 850 miliar yang dapat dikerjakan Fahmi.

Nilai tambahan fee yang diminta adalaha satu persen, sehingga total fee yang harus diberikan adalah tujuh persen dan khusus fee dan harus diberikan lebih dulu sebesar satu persen dari total Rp 1,22 triliun, yaitu sebesar 927.756 dolar AS dengan kurs saat itu Rp 13.150 per dolar AS.

Pengiriman dilakukan secara bertahap, yaitu sebesar 300 ribu dolar AS yang pengirimannya dipecah menjadi dua, pertama 200 ribu dolar AS melalui Hangzhou Hangzhong Plastic Co Ltd dan 100 ribu dolar AS melalui Guangzhou Ruiqi Oxford Cloth Co Ltd pada 9 Mei 2016.

Selanjutnya, Fayakhun juga menerima fee dari Fahmi melalui rekening Omega Capital Aviation Limited di Bank UBS Singapura sebesar 110 ribu dolar AS dan Abu Djaja Bunjamin di Bank OCBC Singapura sebesar 490 ribu dolar AS pada 23 Mei 2016 yang dikirim dari rekening Bank BNI atas nama Fahmi Darmawansyah. Atas vonis tersebut, Fayakhun dan JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement