Rabu 21 Nov 2018 16:24 WIB

PKS Kritik BIN: Kita Jadi Saling Curiga, Saling Tuding

Informasi intelijen seharusnya tidak diungkap ke publik.

Rep: Febrianto Adi Saputro, Antara/ Red: Andri Saubani
Sekjen DPP PKS Mustafa Kamal (tengah).
Foto: Republika/ Wihdan
Sekjen DPP PKS Mustafa Kamal (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mustafa Kamal mengkritisi Badan Intelijen Negara (BIN) usai mengungkapkan sejumlah temuan 41 masjid di lingkungan kementerian dan lembaga pemerintah yang terpapar radikalisme. Menurut Mustafa, BIN seharusnya dapat memilah dan memilih terlebih dahulu terkait informasi apa saja yang akan disampaikan ke masyarakat.

"Bukan menjadi informasi mentah yang dilempar ke publik lalu menjadi kontroversi itu yang kemudian membuat suasana justru menjadi tidak stabil, kita bisa jadi saling curiga  saling tuding menuding," kata Mustafa di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (21/10).

Mustafa menganggap informasi intelijen itulah yang kemuduian diolah untuk kemudian dibuatkan kebijakannya. Menurutnya, kebijakan itulah yang kemudian disampaikan kepada publik.

"Tentu saja sebijak-bijaknya namanya kebijakan harus bijak bagaimana kemudian membuat suasana yang kondusif, apa lg ini sekarang bulan-bulan, hari-hari menjelang pemilu 2019 pileg, pilpres, pemilihan DPD," tuturnya.

 

Anggota parlemen tersebut berharap pemerintah lebih kompak dan dapat melihat segala persoalan secara utuh. Kemudian, pemerintah bisa membuat kebijakan yang lebih bijak.

"Masjid-masjid itu kan tempat orang untuk mendekatkan diri kepada yang mahakuasa untuk menenangkan diri untuk memperdalam keyakinannya, jangan sampai kemudian menjadi permasalahan kepada umat-umat tertentu lalu akhirnya kegiatan agama yang seyogiyanya menjadi kontributor bagi stabilitas politik justru malah menjadi sesuatu yang tidak kontributif," ucapnya.

Hal senada  juga diungkapkan anggota komisi I DPR RI Hidayat Nur Wahid. Ia menganggap aneh jika data yang dipakai oleh BIN bukan data BIN pribadi.

Menurut politikus PKS tersebut, BIN seharusnya memiliki data sendiri yang independen. Kemudian data tersebut,  Hidayat menambahkan, seharusnya hanya diberikan kepada Presiden sebagai pengguna (user).

Selain itu, Wakil Ketua MPR tersebut menganggap data-data yang disampaikan BIN ke masyarakat tersebut dirasa tidak cukup membantu dalam menyelesaikan persoalan radikalisme. Malah masyakat justru akan merasa terteror dengan data-data tersebut.

"Harusnya kalau memang BIN meyakini ada informasi, jangan diumbar ke publik, usernya ke presiden, atau ke DPR, komisi I," ujarnya.

Sebelumnya, Jubir Kepala BIN, Wawan Hari Purwanto mengatakan, institusinya mendapatkan laporan dari Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) NU, bahwa ada 50 Penceramah di 41 masjid lingkungan pemerintah terpapar radikal. Wawan mengatakan, hasil survei yang dilakukan oleh P3M NU sebagai peringatan dini dan ditindaklanjuti dengan pendalaman serta penelitian lanjutan oleh BIN.

"Masjidnya tidak radikal, tapi ada penceramahnya di masjid di lingkungan pemerintah semua di Jakarta," kata Wawan di Jakarta, Selasa (20/11).

Wawan tidak menyebut secara jelas apakah penceramah tersebut terafialiasi dengan kelompok berajaran radikal tertentu atau tidak. Namun, yang pasti BIN terus melakukan pendalaman.

Dia mengatakan, pihak yang terpapar tersebut menyampaikan ujaran-ujaran kebencian dan mengkafir-kafirkan orang lain. Wawan mengatakan, masjid yang berada di kementerian/lembaga maupun BUMN perlu dijaga agar penyebaran ujaran kebencian terhadap kalangan tertentu melalui ceramah agama tidak mempengaruhi masyarakat dan mendegradasi Islam sebagai agama yang menghormati setiap golongan.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement