Kamis 15 Nov 2018 17:09 WIB

Pakar Psikologi Politik: Kampanye Pilpres Nggak Bermutu

Kampanye pilpres saat ini dinilai ramai sensasi sedikit substansi.

Rep: Rizkyan Adiyudha, Antara/ Red: Andri Saubani
Pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk.
Foto: Republika/Wihdan H
Pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk menganalisis kampanye Pilpres 2019 yang sudah berlangsung sejak Oktober lalu. Ia menilai kampanye saat ini tak bergairah karena politikus malah meramaikan sensasi ketimbang substansi.

"Kampanye politik kurang bergairah, noise banyak, voice-nya sedikit. Kampanye enggak bermutu," katanya dalam diskusi di kantor Public Opinion and Policy Research (Populi Center) pada Kamis, (15/11).

Baca juga

Dia menilai, tidak ada alternatif kebijakan yang ditawarkan masing-masing pasangan calon, misalnya, kubu petahana atau Jokowi-Ma'ruf, apa gagasan atau program alternatif yang akan dilakukan lima tahun ke depan. Lalu di kubu Prabowo-Sandi, menurut dia, kritik yang dilakukannya harus berdasarkan data dan fakta sehingga kedua kubu seolah-olah tidak ada bedanya.

"Lalu pada akhirnya menyerang karakter calon yang sifatnya personal karena itu yang membedakan kedua kubu. Nyaris tidak ada beda antara kedua kubu dari sisi program," ujarnya.

Menurut Hamdi, dalam demokrasi mengharuskan seseorang atau kelompok berkompetisi karena jabatan terbatas, maka terjadilah legitimasi diri sendiri dan deligitimasi lawan politiknya. Untuk kubu penantang harus delegitimasi pejawat dengan mengkritik, menyanggah dan berargumen terkait kebijakan yang dijalankan pemerintah.

"Cara yang paling beradab untuk mendelegitimasi lawan adalah delegimasi kebijakannya, serang kebijakannya. Semua argumen dikeluarkan untuk mendelegitimasi, baik visi misi gagasan, itu yang paling bermartabat," tuturnya.

Hamdi menilai, politik delegitimasi itu terhormat. Namun, apabila mengkritisi kebijakan dengan data palsu maka menjadi tidak terhormat misalnya, 99 persen rakyat Indonesia hidup pas-pasan namun akhirnya dibantah Bank Dunia.

"Lalu akhirnya delegitimasi gagal karena datanya hoaks lalu menyerang karakter orang dengan data hoaks seperti tuduhan PKI," ujarnya.

Ia menyayangkan bila lawan pejawat fokus menyerang karakter. Padahal, kritik kebijakan dirasakan perlu untuk menemukan solusi masalah bangsa. "Dalam kampanye itu, prinsipnya sedapat mungkin posisi lawan didelegitimasi dan diri sndiri dilegitimasi. Karena dalam kompetisi politik wajibkan seperti itu," imbaunya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement