REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cawapres nomor urut 01, KH Ma'ruf Amin, bukan hendak menyindir secara fisik penyandang disabilitas ketika menggunakan kata 'buta dan budek' terhadap oposisi yang tak pernah mau mengakui prestasi Jokowi. Namun, yang dimaksud adalah buta dan budek secara sosial dan politik.
Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-KH Ma'ruf Amin, Raja Juli Antoni mengatakan, penggunaan kata 'budek dan buta' tersebut bukan dalam konteks fisik seperti yang dialami oleh para penyandang disabilitas.
"Yang dimaksudkan adalah budek dan buta sosial dan politik. Mereka adalah orang yang tidak punya kemampuan melihat dan mendengar secara sosial-politik karena nafsu politik yang terlalu tinggi," kata Raja Juli Antoni, Ahad (11/11).
Sebelumnya, dalam peresmian rumah relawan Barisan Nusantara (Barnus), di Jalan Cempaka Putih Timur Nomor 8, Jakarta Pusat, Sabtu (10/10), Kiai Ma'ruf menyebut Jokowi telah berhasil membuat daerah semakin maju. Sehingga hanya orang yang 'budek dan buta' yang tak menyadari prestasi itu.
"Orang yang sehat bisa lihat kelas prestasi yang ditorehkan, kecuali orang budek dan buta yang tak bisa melihat dan mendengar realitas kenyataan," kata Kiai Ma'ruf.
Pernyataan Kiai Ma'ruf itu lalu langsung diserang oleh Tim Sukses Prabowo-Sandi, yang menuding Ma'ruf telah marah-marah dan menunjukkan dirinya bukanlah ulama besar. Bahkan disebut pernyataan itu menyerang kaum difabel.
Kata Raja Juli Antoni, Kiai Ma’ruf adalah ulama besar. Ulama yang sudah “mapan” secara spritual dan emosional. Jadi tidak ada kemarahan dalam nada bicaranya ketika mengatakan 'budek dan buta'.
Mantan Ketua Umum Ikatan Pelajar Muhammadiyah itu mengatakan, Kiai Ma'ruf justru menggunakan bahasa Alqur’an. Bahasa yang biasa digunakan oleh santri sehari-hari, untuk mendeskripsikan orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran meski berulang-ulang kali sudah didakwahkan.
Dalam Surat Al-Baqorah ayat 18 Allah berfirman: "Mereka pekak, bisu, buta maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)."
"Ayat ini dalam konteks Indonesia menggambarkan orang-orang yang tidak menerima fakta keberhasilan pembangunan yang dilakukan Pak Jokowi. Bahkan mereka memanipulasi data hanya untuk mencerca dan mendelegitimasi pemerintah," papar Antoni.