REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan memutuskan kasus dugaan pelanggaran kampanye yang melibatkan Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati pada pekan depan. Kedua menteri Kabinet Presiden Joko Widodo tersebut sudah selesai diperiksa oleh Bawaslu pada Jumat (2/11).
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, Luhut dan Sri Mulyani telah selesai menjawab puluhan pertanyaan pada Jumat sore. "Ada 28 pertanyaan yang kami tanyakan kepada Ibu Sri Mulyani. Sementara untuk Pak Luhut, kurang lebih sama," ujar Ratna kepada wartawan di Kantor KPU, Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat.
Kedua menteri tersebut ditanya seputar isi dari laporan dugaan pelangggaran kampanye berkaitan dengan kegiatan pertemuan IMF dan Bank Dunia di Nusa Dua, Bali, pada pertengahan Oktober lalu. "Pertama, yang kami tanya seputar kegiatan itu dilaksanakan oleh siapa, kemudian apa maksud dari gestur yang ada di video itu, apa maksud dari kata-kata yang ada dalam potongan video itu. Dan itu semua sudah dijelaskan oleh Ibu Sri Mulyani dan Pak Luhut," jelas Ratna.
Dia melanjutkan, klarifikasi tersebut untuk membuktikan dugaanpelanggaran pemilu yang mana dalam isi laporan disebutkan melanggar pasal 282, 283, dan 457 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yakni tentang tindakan pejabat negara yang menguntungkan atau merugikan paslon tertentu pada kegiatan kampanye.
Penjelasan dari Luhut dan Sri Mulyani sudah dituangkan dalam berita acara.
Menurut Ratna, Bawaslu sudah bisa melakukan kajian atas kasus ini. Sebab, pihaknya tidak akan memanggil pihak-pihak lain untuk diperiksa. "Baik pelapor, terlapor dan saksi sudah dimintai keterangan. Maka akan kami kaji. Nanti status kasusnya akan segera kami umumkan paling lambat pada Selasa (6/11)," ujar Ratna.
Dirinya masih enggan menyampaikan perihal keterpenuhan unsur citra diri dalam kasus angkat jari Luhut-Sri Mulyani ini. Dia menegaskan jika Bawaslu belum mengambil kesimpulan.
"Kami akan bahas kasus ini bersama penyidik dari kepolisian. Kalau tidak terbukti nanti status laporan dinyatakan tidak memenuhi unsur pelanggaran pemilu. Tapi kalau terbukti akan kami teruskan ke penyidik kepolisian," imbuh Ratna.
Sebelumnya, pada Kamis (18/10), Tim Advokat Nusantara resmi melaporkan Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan dan Menkeu Sri Mulyani ke Bawaslu pada Kamis siang. Kuasa hukum pelapor, M Taufiqurrohman, mengatakan kedua penjabat negara itu diduga melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu paslon capres-cawapres. "Sebagai pejabat negara mereka melakukan tindakan yang patut diduga menguntungkan dan menujukan keberpihakan terhadap pasangan capres-cawapres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin dalam kegiatan annual meeting IMF dan Bank Dunia di Bali pada 14 Oktober lalu," jelas Taufiq kepada wartawan di Kantor Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat.
Adapun dasar pengaduan tersebut karena agenda IMF merupakan agenda resmi kenegaraan. Kemudian, pengadu menemukan adanya indikasi kampanye terselubung, dimana Luhut dan Sri Mulyani terlihat mengarahkan Direktur IMF, Christine Lagarde dan Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim untuk berpose satu jari pada sesi foto.
"Kemudian ada ucapan Sri Mulyani 'Jangan pakai dua, bilang not dua, not dua'. Selanjutnya ada pula ucapan Luhut kepada Lagarde 'No no no, not two, not two'. Kemudian Sri Mulyani terdengar mempertegas dengan mengatakan 'Two is Prabowo , and one is for Jokowi'," jelas Taufiq.
Karena itu, kata dia, keduanya diduga memanfaatkan keadaan tersebut untuk menguntungkan dan menunjukan keberpihakan terhadap Pasangan Calon Nomor Urut 01, Joko Widodo- Ma'ruf Amin. "Bahwa perbuatan Luhut dan Mulyani secara hukum patut diduga telah melanggar Undang-Undang Pemilu, sebagaimana diatur Pasal 282 juncto Pasal 283 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 547 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, dengan ancaman pidana Penjara 3 Tahun serta denda Rp 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah). Selain itu keduanya harus diberhentikan sebagai menteri yang secara nyata dan jelas tidak netral dalam kegiatan pertemuan kenegaraan," tegas Taufiq.