REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akhir-akhir ini suasana harmonis, rukun dan damai yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia mulai terusik. Di tengah suasana politik yang sedang memanas menjelang pemilihan umum Presiden (Pilpres) dan Legislatif (Pileg), berbagai isu konflik sosial terhadap diskriminasi atau kebencian yang muncul akibat perbedaan di antara suatu kelompok, seperti perbedaan denominasi agama atau fraksi politik yang mencoba memecah belah persaudaraan kebangsaan masih saja muncul
Padahal harmonis, rukun dan damai adalah karakter kehidupan bangsa Indonesia yang tercermin dalam filosofi Bhinneka Tunggal Ika. Sepanjang sejarah keberagaman yang damai ini terjalin dalam bingkai persaudaraan berbangsa dan bertanah air. Konflik sosial yang muncul pada hakekatnya adalah benturan antara kelompok-kelompok di masyarakat yang terprovokasi untuk melakukan kekerasan dalam banyak bentuk terutama berawal dai ujaran kebencian.
Oleh karena itu, spirit untuk membangkitkan Indonesia sebagai negara yang damai dengan memiliki karakter rukun, harmonis, toleran dan guyub tentunya masyarakat kita harus kembali menanamkan dan mengamalkan ideologi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
“Tentunya kita harus kembali pada Pancasila. Karena Pancasila adalah rumusan yang paling maksimal yang sudah dibikin oleh para founding fathers kita ketika dia paham bahwa negara ini didirikan oleh kelompok-kelompok yang berbeda atas suku, agama, ras, keturunan dan kepentingan macam-macam, majemuk sekali,” ujar Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia, Prof Dr Hamdi Muluk di Jakarta, Jumat (19/10).
Ia mencontohkan ketika para founding fathers membuat rumusan Pancasila terutama sila ke-1, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dimana Soekarno dalam pidatonya saat itu, Masyarakat dipersilakan memeluk agama sesuai dengan pemahaman masing-masing, yang mana kita semua saling menghormati, dengan begitu spiritnya adalah memang tidak membawa agama ke politik. Karena kalau agama dibawa ke politik, nanti akan dipakai untuk memukul kelompok lain yang tentunya dapat memecah-belah.
“Jadi agama itu ditaruh sebagai sesuatu penghormatan kepada pemeluknya masing-masing untuk menjalankan, sehingga diberi kebebasan beribadah, saling menghormati dan tidak untuk diperdebatkan. Dimana dimata para pemeluknya, agama itu sesuatu yang agung. Jadi kita bisa guyub,” ujar Hamdi Muluk menjelaskan .
Ketika Pancasila didirikan menurutnya, maka dengan sendirinya gagasan tentang negara agama, negara khilafah dan seterusnya dengan sendirinya sudah tertolak. Karena kalau misalnya menjadi negara Islam nanti di sebelahnya juga akan ada negara Kristen, negara Hindu dan negara sebagainya.
“Jadi ini sudah kesepakatan. Kalau kita betul-betul menghayati kembali Pancasila, maka perdebatan mengenai perbedaan itu tidak akan ada lagi. Jadi itu sudah jangan di utak-atik lagi, pancasila itu sudah final, bahwa kita NKRI itu sudah final, kita sudah ada prinsip Bhinneka Tunggal Ika, kita menghormati kemanusiaan yang universal,” ujar pria yang juga anggota kelompok ahli BNPT bidang Psikologi ini.
Dalam pengamatannya selama ini, salah satu timbulnya perpecahan itu dikarenakan adanya ujaran kebencian. Oleh karena itu dirinya sependapat kalau ujaran kebencian itu harus dilarang, karena pada hakikatnya ujaran kebencian itu adalah kekerasan melalui ucapan yang bisa memancing emosi orang dan dapat membuat orang menjadi marah.
“Konflik sosial itu merupakan pertentangan antara kelompok-kelompok sosial dengan identitas seperti agama, suku, ras yang bermacam-macam di negara majemuk seperti Indonesia ini. Misalnya curiga mencurigai tentunya itu juga sudah merupakan bibit konflik, lalu terbentuk prasangka prasangka, kemudian meningkat menjadi intoleransi atau sikap tidak senang terhadap kelompok lain, lalu timbullah intoleransi melalui ujaran kebencian,” ujar Hamdi.