REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peneliti ICW Donal Fariz mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menelusuri adanya tindak pidana pencucian uang yang dilakukan Bupati Bekasi periode 2017-2022, Neneng Hasanah Yasin (NHY), dalam kasus suap pengurusan izin proyek pembangunan Central Business District (CBD) Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Diketahui, Neneng memiliki total harta kekayaan sekitar Rp73,4 miliar. "KPK penting untuk menjerat Neneng dengan tindak pidana pencucian uang," kata Donal saat dikonfirmasi, Selasa (23/10).
Menurutnya, dari laporan harta kekayaan Neneng, banyak di antaranya merupakan aset tanah yang tidak bisa dijelaskan asal usulnya. "Dia hanya menyebutnya hibah," ucap Donal.
Dengan begitu, sambung Donal, kekayaan milik politikus Partai Golkar itu sangat tidak wajar dan penting dikejar asal usulnya oleh KPK dan dijerat TPPU.
"Barangkali ini bukan hal yang pertama dan berulang kali. Maka KPK, menurut saya, harus jerat Bupati Bekasi itu dengan tindak pidana pencucian uang," katanya menegaskan.
Dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Neneng yang dapat diakses di laman https://elhkpn.kpk.go.id.
Harta yang dimiliki politisi Partai Golkar itu terdiri atas harta bergerak dan harta tidak tidak bergerak. Untuk harta tidak bergerak, ia memiliki 143 bidang tanah. Tanah-tanah itu tersebar di Bekasi, Karawang, serta Purwakarta. Total nilai harta tidak bergerak itu mencapai Rp 61,7 miliar.
Untuk harta bergerak, Neneng tercatat memiliki kendaraan dua unit mobil senilai Rp 679 juta. Neneng juga memiliki harta bergerak lainnya senilai Rp 452,7 juta.
Selain itu, ia juga memiliki kas dan setara kas senilai Rp 9,9 miliar, serta harta lainnya sejumlah Rp 2,2 miliar. Total harta kekayaan Neneng berjumlah Rp 75 miliar. Namun, Neneng tercatat memiliki utang sebesar Rp 1,6 miliar. Dengan demikian, total kekayaan bersih Neneng sebesar Rp 73,4 miliar.
KPK baru saja menetapkan Bupati Bekasi periode 2017-2022, Neneng Hasanah Yasin (NHY), dan Direktur Operasional (DirOps) Lippo Group Billy Sindoro (BS) sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta.
Selain Neneng dan Billy, KPK juga menetapkan tujuh orang lainnya, yakni dua konsultan Lippo Group, Taryadi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), serta pegawai Lippo Group, Henry Jasmen (HJ). Kemudian, Kepala Dinas PUPR Bekasi Jamaludin (J), Kepala Dinas Damkar Bekasi Sahat MBJ Nahar (SMN), Kepala Dinas DPMPTSP Bekasi Dewi Tisnawati (DT), serta Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi Neneng Rahmi (NR).
Sebagai pihak yang diduga pemberi suap, Billy, Taryadi, Fitra, dan Henry Jasmen disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Sementara yang diduga menerima suap, Neneng, Jamaludin, Sahat, dan Dewi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Neneng mendapat pasal tambahan, yakni diduga penerima gratifikasi dan disangkakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.