Senin 22 Oct 2018 09:37 WIB

Resolusi Jihad, Janji Jokowi, dan Penetapan Hari Santri

Resolusi jihad dinilai berbeda dengan fatwa jihad.

Rep: Ronggo Astungkoro/Eko Supriyadi/ Red: Muhammad Hafil
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) duduk bersama para ulama dan pejabat di hadapan ribuan santri pada malam puncak peringatan Hari Santri Nusantara, di Lapangan Gasibu, Kota Bandung, Ahad (21/10).
Foto:
Ribuan santri dari seluruh Jawa Barat mengikuti kirab dalam rangka Hari Santri Nusantara Tingkat Provinsi Jawa Barat, di Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Ahad (21/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ia menjelaskan, resolusi jihad itu merupakan desakkan dari konsul NU se-Jawa-Maruda kepada pemerintahan Soekarno untuk bersikap tegas. Kala itu, pemerintah agak bimbang karena yang mereka hadapi itu adalah Inggris dan sekutunya yang menjadi pemenang pada perang dunia kedua.

Kalau fatwa jihad, fatwa yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Al Asy'ari, itu untuk memberikan resonansi yang luar biasa kepada kekuatan sipil alias rakyat untuk bergerak. Karena jika ulama mengatakan hukumnya wajib, kalau tidak dilakukan akan berdosa.

Muhibbin menuturkan, isi fatwa jihad ada tiga, yaitu fardu ain atau wajib hukumnya bagi Muslim yang berada di dalam radius sekitar 90 kilomenter, siapa pun itu baik lelaki maupun perempuan, untuk melakukan perlawanan fisik melawan penjajah. Kedua, apabila mati dalam pertempuran, maka matinya adalah mati syahid.

"Ketiga, siapa pun yang menjadi antek atau bekerja sama dengan sekutu, wajib hukumnya dibunuh. Fatwa jihad itu dikeluarkan di Tebuireng, Jombang, yang kemudian dibawa ke Surabaya dan dibacakan pada rapat yang menghasilkan resolusi jihad," terang Muhibbin.

Usai dikeluarkan, fatwa jihad itu kemudian menimbulkan hirah spiritual atau keagamaan yang sangat besar. Motif perjuangan kebanyakan rakyat Surabaya kala itu adalah motif agama, membela Tanah Air yang menjadi bagian dari keimanan.

"Demikianlah sehingga terjadi pergolakan-pergolakan fisik di tingkat lokal. Peristiwa 10 November itu bukan merupakan pertempuran tunggal, tapi didahului oleh suatu gerakan massa yang didorong oleh fatwa jihad itu," kata dia.

Bahkan, Muhibbin menilai, peran fatwa dan resolusi jihad itu, kata Muhibbin, begitu besar. Sampai-sampai menurutnya, tanpa adanya kedua hal itu, tidak akan pernah terjadi sejarah 10 November. Tentara Indonesia kala itu masih sangat muda usianya. Kekuatan militer belum terkonsolidasi dengan baik.

"Bagaimana mau menghadapi sekutu pemenang perang dunia kedua? Karena itu Bung Karno, dia menemukan satu kunci, yaitu harus rakyat yang bergerak secara masif. Dia juga tahu, tidak mungkin pemimpin-pemimpin politik bisa menggerakan massa sebesar yang diperlukan untuk melawan kekuatan AFNEI," terang dia.

Bung Karno, kata Muhibbin, kemudian menemui KH Hasyim Al Asy'ari untuk bertanya bagaimana cara untuk menghadapi sekutu. Bagaimana perspektif agama atau fatwanya untuk melakukan perjuangan dan berharap fatwa itu kemudian memberikan resonansi yang besar.

"Yang kemudian ternyata betul itu (fatwa jihad) menggerakan kekuatan rakyat yang masif itu," kata dia.

Kemudian, sejak 1956, kantor pusat NU pindah ke Jakarta. Sejak saat itu pula tempat yang menjadi cagar budaya klasfikasi A itu dijadikan kantor PCNU Kota Surabaya. Lokasinya kini tak jauh dari makam Bung Tomo di Gubeng.

Selain menjadi pusat kegiatan administratif perkantoran dalam mengurus kinerja NU di Kota Surabaya, gedung itu juga dijadikan salah satu destinasi wisata sejarah. Di sana juga telah dibangun prasasti atau monumen resolusi jihad di sisi luar bangunan.

"Pelajar dan masyarakat umum bsia mengikuti dinamika perjuangan di mana NU terlibat dengan mendatangi kantor itu. Di sana juga kerap digunakan untuk sekolah kebangsaan," jelas Muhibbin.

Baca juga: Dua Tersangka Kasus Peluru Nyasar Bukan Anggota Perbakin

Baca juga: Sambil Meneteskan Air Mata, Pasha Ungu Mengaku Siap Mundur

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement