REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK BARAT -- Ketua Koordinator Tim Teknis sekaligus Kepala Bidang Perumahan, Dinas Perumahan dan Permukiman Lombok Barat (Lobar) Ratnawi mengatakan, proses rehabilitasi dan rekonstruksi rumah yang rusak akibat gempa, khususnya di Lobar menemui sejumlah kendala.
Ratnawi menyampaikan salah satu kendala dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi terletak pada aspek rumah instan sederhana sehat (Risha) yang menjadi prioritas pemerintah dalam mitigasi bencana gempa di masa mendatang. Kata dia, masyarakat masih terkendala dengan minimnya ketersediaan panel untuk Risha tersebut.
"Satu Risha itu membutuhkan 138 panel. Kita saja yang sudah siap bangun untuk 40 kepala keluarga, baru bisa tiga Risha karena tersedia panelnya hanya segitu," ujar Ratnawi di Lombok Barat, Kamis (18/10) kemarin.
Dia menyebutkan, panel Risha diproduksi secara pabrikan BUMN. Ia berharap pemerintah bisa segera memfasilitasi masyarakat dengan aplikator lainnya yang benar-benar siap menyuplai kebutuhan panel.
"Kita kira panel tersebut telah dicetak di Pulau Jawa, jadi tinggal kirim. Tahunya mencetaknya di sini juga," ucap Ratnawi.
Ratnawi menilai, minat warga membangun Risha di Lombok Barat cukup tinggi. Ia mencontohkan, untuk pembangunan tahap pertama, dari 379 KK yang, setidaknya 176 ingin membangun dengan Risha.
"Mereka ini butuh panel. Kalau ini saja sulit, bagaimana dengan ribuan rumah lainnya," lanjutnya.
Selain model Risha, model rumah instan konvensional (Riko) juga masih menemui hambatan lantaran membutuhkan perencanaan yang sedikit lebih rumit dari Risha.
"Rumah konvensional yang ramah gempa ini harus didesain dulu, dihitung biayanya, dan kadang harus disesuaikan antara maunya masyarakat dengan jumlah uang yang tersedia," kata dia.
Dia melanjutkan, selain menyesuaikan dengan selera pemilik, rehabilitasi pun terhambat dengan minimnya jumlah tenaga teknis pendamping. Para pendamping ini yang membantu warga membuatkan gambar, hitungan biaya, dan lainnya sebelum proses pencairan uang. "Kita ini ibaratnya konsultan mereka," ucapnya.
Di Lobar, tambah Ratnawi, jumlah tenaga teknis ini tidak sebanding dengan jumlah kepala keluarga yang rumahnya rusak. "Jumlah tenaga teknis hanya 40 orang, tidak sebanding dengan jumlah rumah rusak yang berjumlah 72.222 rumah. Kalau yang 72 ribu lebih itu masuk, bayangkan, berapa rasio beban kerja mereka. Bisa muntah-muntah mereka," ungkap dia.