REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Beberapa pengungsi memilih untuk tetap bertahan di tempat pengungsian yang ada di halaman Masjid Raya Baiturrahim, Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), karena takut akan gempa susulan. Namun, mereka merasa kesulitan saat hujan turun karena alas tidur mereka terkena genangan air dan basah.
"Belum berani ke rumah karena masih trauma. Kalau saya di rumah (saat gempa) cuma istri sama mertua. Mereka belum berani pulang. Masih takut," ujar Muhammad Nasir (34) yang sedang merepararsi tendanya dari kayu dan terpal di halaman Masjid Raya Baiturrahim, Ahad (14/10).
Nasir merupakan seorang pekerja honorer di Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Pada saat kejadian, ia sedang berada di kantor. Setelah terjadi gempa, ia dan keluarga memutuskan untuk mengungsi di Masjid Raya Baiturrahim hingga saat ini.
"Tinggal menunggu kepastian saja. Kalau sudah ada beritanya, bilang sudah aman, baru sudah pulang di rumah," kata dia.
ADB Kucurkan Dana Rp 15 triliun untuk Pemulihan Palu
Selain Nasir, ada pula Rahayu Dwi Lestari (20) yang juga telah tinggal di pengungsian sejak gempa terjadi. Mahasiswi itu mengaku sulit bergerak ketika gempa berkekuatan 7,7 skala ritcher terjadi di Sulteng. Bahkan, ketika duduk ia sempat terjatuh karena sulit untuk menyeimbangkan badan.
"Saya lagi di luar, jadi pas gempa itu langsung duduk. Sementara duduk saja mau jatuh. Ada tujuh orang di rumah langsung pada lari ke luar menyelamatkan diri," terangnya.
Kebutuhan Nasir dan Rahayu tidak jauh berbeda. Selain logistik makanan dan air bersih karena stok kurang, mereka juga membutuhkan terpal atau semacam alas tidur. Itu mereka butuhkan mengingat wilayah Sulteng dalam beberapa hari terakhir diguyur hujan.
"Hujan begini kita susah untuk tidur itu malam Karena tikar-tikar kita kan pada dingin semua kena basah semua. Banjir kan di sini tadi malam, menggenang (air) di situ di tempat pengungsiannya," kata Rahayu.