REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Penyediaan sarana mandi-cuci-kakus atau MCK di sejumlah lokasi penampungan pengungsi korban gempa dan tsunami di Kota Palu, Sulawesi Tengah masih memprihatinkan. Akibatnya, sebagian dari mereka harus lari ke sungai atau menggali tanah untuk buang air besar (BAB).
Seperti dilaporkan Antara dari beberapa lokasi pengungsian hingga Jumat (12/10), mendapatkan informasi bahwa para korban harus lari ke sungai yang jaraknya sekitar satu kilometer dari lokasi pengungsian untuk BAB. Sementara untuk buang air kecil, mereka melakukannya di tempat-tempat sepi seperti belakang bangunan atau rerumputan.
Basruddin (40), warga Kelurahan Lere mengungkapkan kondisi pengungsi di halaman kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu di Jalan Diponegoro yang sangat memprihatinkan. Mereka selalu kesulitan ketika hendak buang air.
"Sebelumnya ada satu WC di rektorat IAIN yang disediakan. Tapi saat ini sudah tersumbat karena terlalu banyak yang menggunakannya," ujar ayah dua anak ini.
Pria yang berprofesi sebagai nelayan ini menjelaskan, untuk buang air besar ia dan pengungsi lainya harus ke sungai terdekat sekira satu kilometer. Meski begitu, untuk kebutuhan mandi dan mencuci masih cukup tersedia di kampus hijau tersebut.
"Hanya untuk buang air besar saja yang kesulitan. Semoga saja ada perhatian pemerintah terhadap masalah ini. Karena kami juga sudah tidak bisa balik ke rumah sebab semua rumah kami sudah rata dengan tanah disapu tsunami," ujarnya lirih.
Hal yang sama terjadi di lokasi pengungsian Lapangan Vatulembo yang mengalami kesulitan sarana MCK. Untuk melayani sekitar 1.800 pengungsi, MCK yang tersedia hanya satu unit.
"Ada tiga WC di sini, tapi hanya satu yang berfungsi. Itupun untuk buang air kami harus bawa air dari tempat penampungan karena keran air di WC tidak berfungsi," kata Harludin, warga terdampak gempa yang berasal dari Jalan Kimaja, Lorong Bakso, Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur.
Pria berusia 55 tahun ini mengungkapkan terdapat juga MCK di rumah Wakil Wali Kota Palu dan Markas Kodim 1306 Donggala. Namun, antreannya sangat panjang.
"Untuk WC di lapangan dan di rumah jabatan wawali harus antre. Tapi di Kodim juga tidak bebas. Kami dibatasi, tidak boleh mandi. Hanya bisa buang air saja," ujarnya.
Ronal (28), salah satu relawan yang ikut menyediakan kebutuhan warga di lapangan Vatulembo mengaku MCK yang ada di pengungsian itu sangat memprihatinkan. Warga harus antre panjang bahkan sebagian harus lari ke rumah-rumah warga karena terlalu lama menunggu giliran.
"Saat ini sudah agak baik karena telah tersedia air. Tapi pada hari pertama hingga hari ke lima sangat-sangat memprihatinkan. Karena air belum ada," imbuhnya.
Di lokasi pengungsian lain seperti halaman Masjid Agung Palu, hal yang sama juga terjadi. Ada MCK namun airnya tidak jalan. Akibatnya bau menyengat keluar dari dalam ruang tempat buang hajat disamping masjid.
"Untuk WC ada tapi itu masalahnya, tidak ada air. Ada air di bak penampungan tapi jauh dari WC sehingga mungkin ada yang sudah kebelet dan lupa siram. Bau sekali," kata Harold Pamora (33) warga Jalan Diponegoro yang mengungsi ke halaman masjid.
Ia mengatakan terdapat beberapa MCK bantuan yang tengah dibangun tak jauh dari tenda-tenda pengungsian. Namun, belum bisa digunakan sehingga pengungsi masih saja memaksa masuk ke MCK yang ada di samping Masjid Agung Palu.
Yang agak beruntung adalah para pengungsi di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat. Di lokasi pengungsian yang berada tepat di depan kantor Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) itu cukup tersedia air dan MCK.
"Kalau kami pengungsi di sini berjumlah sekitar 3.000 jiwa, tapi untuk kebutuhan seperti WC dan air aman. Kami dapat bantuan dari relawan asal Bali dan Kementerian PUPR. Ada tiga WC yang dibangun oleh relawan dari Bali dan tiga lagi WC portable yang disediakan Kementerian PUPR," ujar Lukman (35), warga Jalan Manggis, Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat.
Selain mendapatkan MCK yang cukup bagi pengungsi, Lukman juga mengungkapkan kebutuhan air bersih melimpah di lokasi mereka. Sebab, ada sumur bor siap minum yang disediakan relawan asal Bali dan juga suplai air bersih yang selalu ada dari Dinas PUPR.
"Untuk rumah, kami memang sudah tidak ada. Tapi paling tidak kebutuhan mendasar di pengungsian hingga saat ini masih tercukupi," paparnya.