REPUBLIKA.CO.ID, Laporan wartawan Republika, Fuji E Permana dari Palu.
PALU -- Banyak warga Kelurahan Balaroa, Kota Palu, Sulawesi Tengah yang masih kehilangan anggota keluarganya. Namun, proses evakuasi korban gempa bumi dan likuifaksi di Kelurahan Balaroa harus dihentikan pada Kamis (11/10).
Warga Balaroa yang anggota keluarganya masih tertimbun puing dan tanah mengalami dilema. Mereka masih mengharapkan pencarian korban terus dilanjutkan, tetapi kondisinya sudah tidak memungkinkan. Bahkan, tidak sedikit korban yang ditemukan dalam kondisi tidak utuh lagi.
Mutmainah (50 tahun) seorang Warga Perumnas Balaroa menceritakan, rumahnya sudah rata dengan tanah di Balaroa sehingga tidak ada yang tersisa lagi. Bahkan sampai proses evakuasi dihentikan, anggota keluarga yang hilang belum bisa ditemukan.
"Suami dan anak-anak selamat dari gempa, tapi dua cucu hilang, sampai sekarang belum ditemukan," kata Mutmainah saat ditemui Republika di tenda pengungsian warga Balaroa, Kamis (11/10).
Ia menyampaikan, dua cucunya baru berusia tujuh tahun, semuanya laki-laki. Sebenarnya masih ingin proses pencarian korban dilanjutkan. Tetapi, menyadari keadaannya memang tidak memungkinkan jika pencarian korban terus dilanjutkan.
Mutmainah berharap area tempat terjadinya gempa bumi dan likuifaksi dijadikan sebagai monumen. Supaya korban-korban yang tertimbun puing dan tanah bisa dikenang. Sebab, menurutnya masih ada ribuan korban yang tertimbun puing dan tanah.
Warga Balaroa lainnya, Mona (30) mengungkapkan kepasrahannya. Dia mengatakan, kalau pemerintah sudah memutuskan untuk menghentikan proses evakuasi korban, maka masyarakat bisa berbuat apa lagi. Sampai sekarang, Mona tidak tahu posisi rumahnya ada di mana, sebab lokasinya berpindah saat terjadi likuifaksi.
Ia menyampaikan, kedua anaknya yang hilang berusia tujuh tahun dan tiga tahun. Mereka semua laki-laki, sampai sekarang belum ditemukan keberadaannya. "Anggota keluarga yang hilang tidak tahu ada di mana, suami saya, ayah saya dan dua anak saya belum ditemukan," ujarnya.
Mutmainah dan Mona mengaku sudah cukup mendapat bantuan makanan dan pakaian. Namun, mereka berharap segera dapat dipindahkan ke rumah yang lebih layak oleh pemerintah. "Harapannya ingin rumah untuk tempat bernaung, karena kita mau pergi ke mana lagi," ujarnya.
Irjam yang juga warga Balaroa mengungkapkan, dilema saat mendengar evakuasi korban gempa bumi dan likuifaksi dihentikan. Kalau evakuasi dilanjutkan, khawatir evakuator terancam kesehatannya dan terjangkit penyakit. Tapi jika evakuasi dihentikan, masih banyak warga yang anggota keluarganya tertimbun puing dan tanah. "Berat untuk menentukan, evakuasi dilanjutkan atau dihentikan," ujarnya.
Proses evakuasi korban gempa bumi dan likuifaksi di Kelurahan Petobo, Kota Palu, juga dihentikan pada Kamis (11/10). Evakuasi dihentikan atas dasar pertimbangan banyak hal, termasuk pertimbangan medis, psikologi, sosial, dan agama.
"Sementara, masih mengikuti instruksi dari posko utama kami bahwa ini hari terakhir tim Basarnas dan SAR gabungan melakukan proses evakuasi," kata Safety Officer Tim SAR Gabungan di Petobo, Chandra Kresna, kepada Republika.co.id, Kamis (11/10).
Chandra mengatakan, sekarang sudah memasuki hari ke-14 proses evakuasi. Sampai hari ini, tim SAR gabungan sudah mengevakuasi 180 jenazah dari wilayah Petobo. Sementara, sisa korban yang masih tertimbun di bawah puing dan tanah belum dapat diprediksi karena luasnya area evakuasi di Petobo.
Ia mengungkapkan, ada kendala saat melaksanakan proses evakuasi. Di antaranya kendala cuaca, jika terjadi hujan, evakuasi harus dihentikan sementara karena alasan faktor keselamatan. Sebelum evakuasi dihentikan, tim SAR gabungan berhasil mengevakuasi sejumlah jenazah.
"Hari ini kami berhasil mengevakuasi lima korban. Hari terakhir ini korban kami temukan dalam kondisi lengkap, satu tidak dikenal apakah itu laki-laki atau perempuan," ujarnya.