Kamis 11 Oct 2018 19:52 WIB

Gerindra Sebut Pilpres 2019 Lebih Berat, PKS tak Sepakat

Dari tiga kali pilpres, Pilpres 2019 akan menjadi yang terberat bagi Prabowo.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Andri Saubani
Suhud Aliyudin
Foto: ANTARA FOTO
Suhud Aliyudin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktur Pencapresan PKS Suhud Aliyuddin menganggap Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 relatif lebih mudah jika dilakukan secara jujur dan adil. Pendapat tersebut bertolak belakang dengan rekan sekoalisinya, Partai Gerindra yang memandang pilpres tahun depan bakal lebih berat dari pada sebelumnya.

“Elektabilitas Pak Jokowi berada di angka yang mungkin masih bisa dikalahkan,” kata Suhud saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (11/10).

Survei terakhir dari Saiful Muljani Research Center (SMRC) merilis elektabilitas pasangan Jokowi-Ma’ruf sebesar 60,2 persen sedangkan pasangan Prabowo-Sandiaga hanya 28,7 persen. Suhud menilai, meski terpaut jauh, elektabilitas itu masih bisa disusul.

Apalagi, lanjut dia, janji-janji pemerintahan Jokowi-JK saat ini banyak yang dinilai belum berhasil. Menurut Suhud ketidakberhasilan yang paling nyata pada era pemerintahaan saat ini yakni angka pertumbuhan ekonomi yang tetap di level 5 persen. Selain itu, kondisi perekonomian masyarakat makin hari kian berat.

“Rupiah terus melemah terhadap dolar, harga kebutuhan pokok juga tidak stabil dan cenderung mahal,” kata Suhud.

Menurut Suhud, strategi pencintraan saat ini sudah tidak laku. Sebab, masyarakat sudah melihat realitas yang sesungguhnya dan merasakan langsung rendahnya kemampuan pemerintah. Sementara itu, pelibatan peran kepala daerah di berbagai tingkat untuk mendapatkan suara pemilih juga tidak berpengaruh.

“Secara umum tidak ada pengaruhnya, masyarakat sudah cerdas, realistis, dan independen,” tutur Suhud.

Sebagaimana diketahui, Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Ahmad Muzani mengakui dari tiga kali pilpres yang diikuti Prabowo (2009, 2014, 2019), bobot pilpres 2019 dinilai menjadi pilpres paling berat.

"Kami merasakan bahwa dulu 2009 tidak ada pengerahan bupati wali kota gubernur semasif seperti sekarang ini," kata Muzani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (10/10).

Muzani menganggap ada pengerahan terhadap kepala daerah untuk memberikan deklarasi dukungan kepada pasangan nomor urut 01 Jokowi - Ma'ruf. Ia menambahkan, bahkan bupati yang diusung partai koalisi juga tidak memiliki keberanian untuk mendukung pasangan Prabowo - Sandi.

"Meskipun kami menyatakan bahwa bapak ibu kewajibannya adalah memberi pelayanan kepada rakyat di kabupaten kota di provinsi yang ibu bapak pimpin, biarlah kewajiban untuk memenangkan Prabowo - Sandi jadi kewajiban partai pengusung dan tim pemenangan yang kita bentuk," jelasnya.

Selain itu, Muzani mengatakan, kubu Prabowo kerap mendapat perlakuan yang berbeda dari beberapa lembaga survei. Bahkan, sejumlah lembaga survei menolak  saat dimintai kerja sama dengan sejumlah alasan. Tidak hanya itu, Koalisi Indonesia Adil dan Makmur merasakan juga pemberitaan yang tidak imbang di sejumlah media.

"Kami merasa Prabowo sekarang dikepung, Prabowo tidak boleh dalam suasana survei yang unggul, Prabowo tidak boleh dalam suasana yang dimungkinkan bisa menang, pemberitaan Prabowo tidak boleh positif, rakyat yang mendukungnya harus dalam suasana seperti sekarang ini dan seterusnya," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement