Selasa 09 Oct 2018 15:54 WIB

Evakuasi Korban Bencana Sulteng Dihentikan pada 11 Oktober

Mayoritas korban meninggal terdapat di wilayah Petobo, Balaroa, dan Jono Oge.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Andi Nur Aminah
Warga mencari barang layak pakai sisa runtuhan bangunan di kawasan terdampak likuifaksi di Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (9/10). Masyarakat yang terkena musibah mulai berbenah pascagempa bermagnitudo 7,4 disusul gelombang tsunami.
Foto: ANTARA FOTO/Sahrul Manda Tikupadang
Warga mencari barang layak pakai sisa runtuhan bangunan di kawasan terdampak likuifaksi di Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (9/10). Masyarakat yang terkena musibah mulai berbenah pascagempa bermagnitudo 7,4 disusul gelombang tsunami.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Evakuasi korban gempa bumi dan tsunami di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah akan dihentikan Kamis (11/10) pekan ini. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, pengehentian evakuasi tersebut berdasarkan rapat dengan pemerintah daerah setempat beserta para tokoh masyarakat.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, dilihat dari korban meninggal dunia yang dievakuasi, rata-rata kondisi jasad sudah melepuh dan tidak bisa dikenali. Di satu sisi, jasad korban yang sudah cukup lama tertimbun turut berisiko menimbulkan penyakit. 

Baca Juga

photo
Sejumlah alat berat saat melakukan evakuasi korban jenazah di Petobo, Palu, Sulawesi Utara, Rabu (3/10).

Mayoritas korban meninggal terdapat di wilayah Petobo, Balaroa, dan Jono Oge. Ketiga wilayah tersebut merupakan kawasan dimana terjadi likuifaksi sehingga rumah-rumah ambles ke dalam lumpur. “Penghentian evakuasi secara resmi dilakukan pada 11 Oktober 2018 di seluruh area. Namun, jika masyarakat masih ingin tetap mencari anggota keluarga dipersilakan, tentu akan banyak relawan yang akan membantu,” kata Sutopo dalam Konferensi Pers di Kantor Pusat BNPB, Jakarta Timur, Selasa (9/10). 

Sutopo menjelaskan, keputusan penghentian evakuasi tersebut berdasarkan saran dan masukan dari kepala daerah setempat. Para tokoh agama dan tokoh masyarakat di wilayah terdampak juga menyampaikan agar evakuasi tidak dilanjutkan.

Di wilayah terdampak likuifaksi, Jono Oge, misalnya, lumpur bahkan masih basah. Sedangkan hingga saat ini belum ada ekscavator amphibi untuk melakukan evakuasi. Sebagai gantinya, daerah tersebut akan dijadikan sebagai lokasi penguburan massal.

Kawasan dimana terjadi likuifaksi akan dijadikan ruang terbuka hijau dan menjadi Memory Park. Di lokasi tersebut nantinya akan dibangun monumen. “Masyarakat juga sudah trauma untuk tinggal di lokasi tersebut sehingga meminta untuk dapat dibangun permukiman baru,” katanya.

Ia menegaskan, ketika ada korban meninggal yang ditemukan pascapenghentian evakuasi, korban akan tetap didata oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Korban tersebut juga akan tetap mendapatkan santunan dari pemerintah pusat. Seluruh keputusan tersebut, lanjut Sutopo telah diputuskan dalam rapat koordinasi Senin (8/10) kemarin.

photo
Sejumlah kerusakan akibat gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah , Sabtu (29/9).

Penghentian evakuasi korban bertepatan dengan berakhirnya masa tanggap darurat tahap pertama. Namun, kendati evakuasi dihentikan pada Kamis mendatang, bukan berarti masa tanggap darurat ikut berakhir.  

Pada Rabu (10/10), pemerintah Sulawesi Tengah akan menggelar rapat bersama untuk menenentukan apakah masa tanggap darurat dilanjutkan atau juga dihentikan. “Dilihat dari dampak kerusakan yang ditimbulkan, kemungkinan akan tetap diperpanjang,” kata Sutopo.

Selama masa tanggap darurat, Sutopo menjelaskan, tetap dilakukan penanganan medis, distribusi logistik, serta upaya pemulihan ekonomi. Selain itu, pembenahan jaringan listrik, telekomunikasi, dan distribusi akan terus dilanjutkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement