Kamis 04 Oct 2018 05:06 WIB

Anatomi Tsunami dan Bagaimana Bencana Dahsyat Itu Terjadi

USGS menilai, Indonesia bagian timur khas dengan tektonik kompleks.

Foto udara kondisi Palu pascagempa dan tsunami, Selasa (2/10).
Foto: republika/fakhtar khairon lubis
Foto udara kondisi Palu pascagempa dan tsunami, Selasa (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia, yang dikelilingi sesar atau patahan lapisan bumi, membuat wilayahnya selalu divonis sebagai daerah rawan bencana. Dan, dari bencana-bencana yang terjadi, selain vulkanologi, gempa dan tsunami meninggalkan bekas duka mendalam karena kedahsyatannya.

Terakhir dan masih menjadi perbincangan hangat hingga kini adalah gempa Donggala, yang sesaat kemudian memicu gelombang tsunami menerjang Palu. Gempa bumi tektonik dengan kekuatan goncangan 7,4 skala Richter (7,5 magnitudo menurut USGS) yang memicu tsunami itu membuat Sulawesi Tengah (Sulteng) menjadi perhatian dunia.

Badan geologi Amerika Serikat (USGS) menyebut gempa Sulawesi itu terjadi sebagai akibat pergerakan sesar mendatar pada kedalaman dangkal di bagian dalam lempeng Laut Maluku, yang juga bagian dari sesar tektonik Sunda yang lebih luas. Berdasarkan pengamatan dan penelitian, gempa Sulteng itu mengindikasikan ada bagian yang hancur atau pecah pada salah satu sesar yang membelok ke utara-selatan, atau di sepanjang patahan yang mengarah timur-barat pada sisi-kanan.

Lembaga geologi itu menegaskan bahwa Indonesia bagian timur khas dengan tektonik kompleks. Di mana, gerakan sejumlah kecil lempeng mikro yang mengakomodasi gerakan skala besar antara lempeng Ausralia, Sunda, Pasifik, dan Laut Filipina.

Di lokasi gempa Donggala pada 28 September 2018, menurut USGS, lempeng Sunda bergerak ke selatan menuju sesar Molucca Sea dengan pergerakan 30 mm per tahun. Meskipun sudah jelas lokasinya di kawasan lempeng-lempeng mikro, gempa 28 September lalu itu lebih menggambarkan pergerakan di area sesar yang lebih besar.

Dengan ukuran kekuatannya, gempa Donggala, biasanya bersumber dari pergerakan patahan berukuran sekitar 120x20 km. Gempa bumi dangkal dengan ukuran seperti ini sering menimbulkan dampak mematikan bagi masyarakat di sekitarnya.

Menurut USGS, secara historis, wilayah Sulawesi dan sekitarnya telah menjadi tuan rumah beberapa gempa bumi besar. Dengan 15 peristiwa berkekuatan 6,5 magnitudo dan lebih besar di 250 km dari lokasi pusat gempa 28 September, pada abad sebelumnya.

Yang terbesar adalah gempa 7,9 magnitudo pada Januari 1996, sekitar 100 km di sebelah utara dari peristiwa 28 September 2018. Gempa 28 September 2018 didahului dengan serangkain gempa bumi kecil hingga sedang selama berjam-jam.

Ada juga guncangan susulan yang aktif, dengan 10 kejadian 4,7 magnitudo dan lebih besar dalam tiga jam setelah gempa terbesar itu. Gempa susulan terbesar dalam rentang waktu itu adalah 5,8 magnitudo, sekitar 12 menit setelah gempa 7,4 SR.

Gempa pemicu tsunami

Semua tsunami merupakan peristiwa besar. Pemicunya adalah gangguan geologi besar, seperti longsor, letusan gunung berapi, gempa bumi, atau bahkan meteor besar yang jatuh ke lautan.

Tidak semua gempa menimbulkan tsunami, dan menurut NOVA (program sains yang populer di AS) gempa dengan episentrum di 85 km barat laut Banda Aceh pada 2004 silam merupakan mesin pembuat gelombang dahsyat.

Menurut NOAA Center for Tsunami Research, tsunami itu dipicu gempa 9,1 skala Richter yang menghasilkan energi setara 23 ribu kalinya bom atom Hiroshima. Gempa itu memindahkan miliaran ton air yang membentuk gelombang tsunami.

Ketika gempa kuat 9,1 SR melanda wilayah pesisir Aceh, Indonesia pada 26 Desember 2004, pergerakan dasar laut menghasilkan tsunami lebih dari 30 meter (100 kaki) di sepanjang garis pantai yang berdekatan, menewaskan 240 ribu jiwa di Indonesia. Dari sumber gempa yang sama, tsunami terpancar keluar dan dalam waktu dua jam telah menelan 58 ribu jiwa di Thailand, Sri Lanka, dan India.

Tsunami merupakan serangkaian gelombang laut yang disebabkan oleh gangguan permukaan laut yang besar dan tiba-tiba. Jika gangguan tersebut dekat dengan garis pantai, tsunami lokal dapat menghancurkan komunitas pesisir dalam hitungan menit.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan 3,8 juta jiwa penduduk Indonesia memiliki risiko terhadap ancaman bencana tsunami. Waktu untuk menyelamatkan diri dari tsunami pun hanya 30 menit hingga 40 menit.

"Karena itu, mitigasi bencana tsunami penting," kata Sutopo dalam jumpa pers terkait gempa dan tsunami Sulawesi Tengah di Graha BNPB, Rabu (3/10).

Anatomi tsunami

Kata tsunami berasal dari bahasa Jepang, tsu berarti "pelabuhan" dan nami yang artinya "gelombang". Dengan pemicu gempa bumi, tsunami biasanya terjadi akibat dorongan dan tekanan kuat dari lempeng bumi yang saling bertubrukan.

Kondisi dalam bumi yang mengandung banyak lapisan termasuk magma, bisa bergerak sesuai perubahan alamiahnya. Dan fenomena inilah yang mendorong lempeng bumi menyesuaikan.

Tsunami dahsyat di Aceh pada 2004 telah diteliti banyak ahli geologi dunia. Dan NOAA Center for Tsunami Research menggambarkan bagaimana lempeng bumi bergerak dan menjadi pemicu gelombang raksasa berkecepatan seperti pesawat jet menghantam daratan sebagian Sumatra waktu itu.

Waktu itu dua lempeng bumi besar yang bertemu bergerak, di mana lempeng Indo-Ausralia mendorong lempeng Eurasia dengan kuat. Seperti mendorong papan hingga melengkung, dan ujung yang sudah melengkung akibat dorongan itu kemudian terlepas.

Selain dorongan itu membuat rongga dan menyedot air laut turun ke bawah, kekuatan hentakan ujung lempeng yang terlepas setelah terdorong itu juga menimbulkan energi dorongan yang sangat besar dari dasar laut ke permukaan. Itulah penyebab munculnya gelombang sangat besar yang disebut dengan tsunami dan efek dorongannya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan kilometer, dengan dampak terkuat dirasakan lingkungan pesisir pantai yang berdekatan.

Seperti menjatuhkan benda padat ke dalam air, tsunami muncul karena adanya dorongan terhadap air. Beda dengan yang disebabkan oleh jatuhnya meteor besar, tsunami yang bersumber dari gempa bumi dorongannya berasal dari dasar laut.

Bencana ini sulit diprediksi karena gempa sebagai penyebabnya juga sulit diprediksi. Tetapi, para ilmuwan telah bekerja keras sejak tsunami Aceh untuk bagaimana bisa mengetahui secara dini gejala tsunami.

Alat pendeteksi dini tsunami bernama buoy pun ditebar di Samudra Hindia dan Pasifik. Tad Murty, seorang ahli tsunami di Universitas Manitoba di Winnipeg, Kanada, pernah mengatakan bahwa sistem peringatan dini tsunami di Samudera India akan menghabiskan dana antara 250 juta hingga 400 juta dolar AS.

Alat-alat dan teknologi ini penting karena ancaman gempa dan tsunami masih akan terus ada dan kita belum tahu akan terjadi di mana dan seperti apa dampaknya. Pelajaran terakhir adalah gempa Donggala dan tsunami Palu.

Memanfaatkan mangrove

Peneliti Geofisika Kelautan LIPI Nugroho Dwi Hananto mengatakan, mangrove dengan akar tunjangnya yang tumbuh rapat dan melebar akan bekerja seperti jaring untuk menghadang gelombang laut seperti tsunami. Ia pun menyarankan, pesisir pantai di Indonesia ditanami mangrove.

"Seperti baskom berisi air lalu dimasuki spon, maka akan ada bagian air yang bergolak namun ada pula yang tenang karena terhalang oleh spon tadi," kata Nugroho, Rabu (3/10).

Nugroho menerangkan, sama halnya ketika ada pesisir yang rapat ditumbuhi mangrove maka akan ada reaksi. Di mana air yang ada di sisi daratan akan lebih tenang.

"Sekarang kita perlu lihat apakah pantai-pantai kita masih ada mangrovenya atau tidak. Kalau ada kita perlu pelihara, kalau tidak ada tapi (daerahnya) potensial ditanami mangrove maka tanamilah," ujar dia.

Karena selain bisa meredam tsunami, Nugroho mengatakan mangrove juga bisa memberikan jasa lingkungan seperti penyerapan karbon dan menjadi tempat memelihara ikan-ikan dan satwa laut lainnya. Mangrove, lanjutnya, juga memiliki karekter tumbuh di pantai yang tidak curam. Karena di sana tumbuhan ini tidak terhantam ombak.

"Bisa saja kita tegakkan dengan bambu, tapi memang tidak semua pantai bisa kita kasih mangrove. Jadi perlu dilihat cocok atau tidak," kata Nugroho.

Jika tidak cocok maka untuk keperluan mitigasi di daerah pesisir bisa dibangun tembok penahan tsunami, seperti yang dilakukan di Jepang. Atau cara lain dengan membuat jalur evakuasi, lanjutnya.

Untuk pantai-pantai di Teluk Palu, menurut Nugroho, memang akan jarang ditumbuhi mangrove mengingat daerah itu merupakan perairan dalam. Kecenderungannya jika teluk dalam dan menyisakan sedikit pantai maka gelombangnya akan besar, sehingga tumbuhan seperti mangrove akan sulit berkembang.

"Jaman dulu orang memang suka membuat kota di teluk karena biasanya ombaknya tenang. Tapi kita juga belajar, seharusnya kota tidak dibangun di atas sesar aktif," kata Nugroho.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement