REPUBLIKA.CO.ID, Laporan wartawan Republika, Fauziah Mursid dari Palu.
PALU -- Aktivitas Kota Palu, Sulawesi Tengah, masih lumpuh hingga hari kelima pascagempa bumi dan tsunami yang terjadi Jumat (28/9) lalu. Berdasarkan pengamatan Republika, seluruh aktivitas perkantoran baik pemerintah maupun swasta masih tutup di Kota Palu.
Tak hanya itu, pertokoan di wilayah Palu juga belum ada satu pun yang buka. Hal ini karena bangunan perkantoran maupun pertokoan tampak rusak akibat gempa.
Jika bangunan masih kokoh pun, tidak sedikit gedung perkantoran digunakan untuk posko bantuan korban maupun pengungsi. Akibatnya, aktivitas ekonomi di Kota Palu masih lumpuh.
Hal lain yang menyebabkan lumpuhnya kota Palu juga karena tidak adanya pasokan listrik ke Palu. Hingga Rabu (3/10) malam Kota Palu masih gelap, kecuali gedung perkantoran atau rumah yang menggunakan generasi set (genset). Selain itu, air bersih juga menjadi satu kendala para pengungsi karena matinya pasokan listrik.
Bahan bakar minyak juga menjadi salah satu kendala masyarakat kota Palu saat ini. Antrean di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di wilayah Kota Palu yang sudah buka juga langsung dijejali oleh masyarakat pengguna BBM. Masyarakat ada yang mengantre menggunakan kendaraan maupun menggunakan jeriken hingga mengular dan menimbulkan kemacetan di sekitar SPBU.
Adapun, aktivitas di Bandara Mutiara Sis Aljufri juga belum berhenti. Deru mesin pesawat terbang membawa bantuan logistik maupun relawan masih terus berdatangan.
Tampak pula sejumlah petugas gabungan Basarnas, TNI, Polri, relawan masih beraktivitas di bandara. Mereka membantu mengevakuasi korban selamat untuk dirujuk ke rumah sakit di luar Palu.
Salah satunya warga yang ditemu Republika adalah Mardani, warga Kabupaten Sigi, yang hendak meninggalkan Palu menuju Makassar bersama keluarganya. Mardani membawa serta istri, dua anak dan ibunya, saat masih menunggu jadwal keberangkatan pesawat hercules TNI melalui Bandara Mutiara Sis Aljufri, Palu Sulawesi Tengah.
Saat hendak pergi, Mardani dan keluarga hanya membawa baju seadanya, beberapa tas ransel yang dibawa oleh istri dan anak lelaki tuanya. Ditemui Republika, Mardani tampak lemah dan pucat, duduk di tepi halaman parkiran bandara Mutiara.
"Saya mau ke Makassar mbak, mau cuci darah (dialisis) di sini alat cuci darahnya di rumah sakitnya semua rusak," ujar Mardani lemah, yang diamini oleh istrinya.
Istrinya, Muthia mengatakan, Mardani sudah hampir sepekan tidak cuci darah atas penyakit ginjalnya. Karena gempa terjadi sejam sebelum jadwal dialisisnya dilakukan, bahkan kata dia, ia dan suami menyelamatkan diri dari gempa saat di rumah sakit.
Muthia pun menyebut tidak memiliki kerabat di Makassar, tetapi di wilayah Palopo, Sulawesi Selatan. "Sampai sana (Makassar) katanya dijemput pihak medis, kalau keluarga nanti dengan kerabat yang dekat sana," ujar Muthia.
Ia juga kembali menuturkan, tak hanya dia, beberapa tetangganya pun juga di Sigi, meninggalkan wilayah tempat tinggalnya. Muthia beralasan, rumah yang ditempatinya rusak karena gempa dan tidak dapat ditinggali.
Jika pun bisa, banyak masyarakat trauma karena gempa susulan tersebut terjadi. Lebih lanjut, akses makanan dan air yang sulit menyebabkan warga kesulitan.
"Rumah kami rusak, tidak bisa ditinggali, suami juga harus cuci darah, sekolah anak saya juga roboh," kata dia.