Rabu 03 Oct 2018 14:36 WIB

Ahli Geologi AS: Fenomena Likuifaksi di Palu Menyeramkan

Likuifaksi atau pencairan tanah adalah fenomena jamak di wilayah pesisir.

Foto udara reruntuhan masjid di antara rumah-rumah warga yang hancur akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR) di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).
Foto: Hafidz Mubarak/Antara
Foto udara reruntuhan masjid di antara rumah-rumah warga yang hancur akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR) di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa likuifaksi atau pencairan tanah bagi banyak ahli maupun peneliti kebumian merupakan hal biasa. Namun, yang terjadi di Kabupaten Sigi dan Palu sesaat setelah gempa dengan magnitude 7,4 skala Richter menggoncang Timur Laut Donggala pada Jumat (28/9), dianggap menyeramkan.

"Itu adalah contoh likuifaksi yang paling menyeramkan yang pernah saya lihat. Banyak suara-suara aneh terdengar," kata Ahli Geologi dari Universitas Saint Louis AS, John Encarnacion menanggapi video-video peristiwa likuifaksi yang terjadi di Kabupaten Sigi dan Kota Palu kepada Antara melalui pesan singkat diterima di Jakarta, Rabu (3/10).

Pada awalnya, justru ia sempat berpikir peristiwa di dalam salah satu video yang sempat viral di media sosial tersebut adalah tsunami. Ia menduga seluruh kawasan di dalam video tersebut sebenarnya berada di atas endapan lumpur dan pasir dari pesisir atau sungai yang tidak terkonsolidasi dan jenuh dalam air. Ketika material itu terguncang oleh gempa bumi maka tanah menjadi mencair.

Usia endapan pasir dan lumpur tersebut, menurut perkiraannya proses pembekuannya dapat mencapai ribuan hingga puluhan ribu tahun. "(Usia) itu sangat muda dan tidak cukup waktu untuk berubah menjadi batu. (Likuifaksi) ini sebenarnya adalah situasi yang sama terjadi di banyak wilayah pesisir," ujar dia.

Saat ditanya kaitan antara likuifaksi dan tsunami, ia mengatakan mereka adalah dua fenomena yang berbeda. Tsunami dimulai karena permukaan laut terganggu, baik oleh gerakan patahan atau tanah longsor di bawah laut. Sedangkan, likuifaksi terjadi karena sedimen yang kaya air terguncang hebat oleh gempa.

Sebelumnya diberitakan bahwa sejumlah lokasi di Kota Palu dan Sigi mengalami fenomena likuifaksi pascagempa 7,4 Skala Richter (SR). Tidak hanya rumah yang 'tertelan' saat peristiwa pencairan tanah, tersebut terjadi tetapi juga sebagian penduduk yang tinggal di atasnya.

Baca juga: Fenomena Likuifaksi dan Tenggelamnya Rumah-Rumah di Petobo

[video] Akses Logistik Masih Sulit di Palu

Kelurahan Petobo menjadi salah satu lokasi terdampak gempa paling parah, selain wilayah Perumnas Balaroa. Ribuan korban diperkirakan masih tertimbun tanah bersama bangunan di dua lokasi itu.

"Kami belum identifikasi di Perumnas Balaroa dan Kelurahan Petobo karena lokasinya sangat parah," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu Fresly Tampubolon di Palu, Senin (1/10).

Dua daerah tersebut, yakni Balaroa dan Petobo, merupakan pusat kerusakan paling dahsyat karena rumah dan fasilitas publik di titik itu tertimbun tanah bak ditelan bumi. Menurut sejumlah saksi, beberapa detik setelah gempa 7,4 SR mengguncang Palu, wilayah kelurahan itu terlihat semburan air yang cukup tinggi, lalu tiba-tiba permukaan tanah menurun sehingga ikut menarik seluruh benda di atasnya.

Bahkan, beberapa bangunan seperti masjid bergeser jauh sekitar 50 meter dari posisi semula. "Istri dan anak-anak saya tidak bisa diselamatkan. Saya perkirakan mereka terperangkap dalam rumah lalu digulung tanah," kata Husnan, salah seorang keluarga korban.

photo
Kronologi Gempa-Tsunami Palu dan Donggala

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement