REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Sri Puguh Budi Utami mengungkapkan kronologis kaburnya para narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Palu, Sulawesi Tengah, akibat gempa 7,4 skala Richter pada Jumat (28/9). Para narapidana kabur karena khawatir akan keselamatan mereka.
"Awalnya kondusif, para narapidana dikumpulkan di lapangan dan para petugas di tengah lapangan," kata Utami saat konferensi pers di Jakarta, Senin (1/10).
Dirjen Pemasyarakatan yang baru balik kemarin malam dari Palu ini menceritakan bahwa para narapidana mulai panik setelah pagar ambruk dan berlanjut dua blok bangunan Lapas runtuh. "Tak lama, tiba-tiba air keluar dari dalam tanah. Meraka akhirnya kabur melalui blok yang roboh," kata Utami.
Dia juga mengungkapkan kaburnya para narapidana ini juga akibat mendengar ambruknya bangunan Hotel Roa-Roa yang berjarak sekitar 50 meter. Para tahanan panik takut tertimpa bangunan Lapas.
Utami juga mengungkapkan bahwa tidak ada korban jiwa dari tahanan dan narapidana akibat bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala ini. Sebanyak 1.420 tahanan dan narapidana yang kabur itu di antaranya dari Lapas Palu sebanyak 515 orang (581 narapidana hanya tersisa 66 orang), Rutan Palu sebanyak 410 tahanan (diisi 463 tahanan yang tersisa hanya 53 orang), Lembaga Pemasyarakatan Khusus Perempuan (LPP) Palu sebanyak 72 narapidana (diisi 83 narapidana ditambah tiga bayi, tersisa senbilan orang), Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Palu 24 orang (diisi 29 anak tinggal lima warga binaan) dan Lapas Donggala 342 narapidana kabur semua.
Utami menjelaskan bahwa kaburnya para tahanan dan narapidana ini karena secara naluriah butuh keselamatan jiwa. Mereka juga khawatir keadaan keluarga mereka di luar.
Saat ini terdapat 15 UPT di wilayah Sulawesi Tengah dan delapan di antaranya terkena dampak gempa. Total penghuni di Sulawesi Tengah saat ini mencapai 3.220 dan yang berada di luar saat ini sebanyak 1.420, sehingga yang tersisa 1.795 narapidana dan tahanan.