Selasa 25 Sep 2018 12:35 WIB

Cerita Mahfud MD Tentang Peliknya Korupsi di Indonesia

Istilah korupsi politik belum ada dalam hukum tertulis di Indonesia.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Esthi Maharani
Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Mahfud MD  tiba di  Gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/9).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Mahfud MD tiba di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/9).

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Mahfud MD menghadiri diskusi publik di Universitas Negeri Padang (UNP), Sumatra Barat. Di hadapan ribuan mahasiswa, ia menceritakan peliknya praktik korupsi di Indonesia yang tak sekadar bersifat konvensional yakni secara nyata ada angka kerugian negara yang diakibatkan, namun juga korupsi nonkonvensional yang lebih kepada pemanfaatan jabatan politik untuk melancarkan kebijakan yang merugikan rakyat.

"Menyalahgunakan jabatan politik di mana kedudukan politik seseorang digunakan untuk melakukan korupsi, dengan menerima suap atau memanipualsi APBN/APBD," jelas Mahfud di UNP, Senin (25/9).

Mahfud mencoba mengoreksi, bila sebagian besar orang beranggapan bahwa jabatan politik didominasi oleh partai politik, kenyataannya jabatan politik itu lebih luas dan termasuk pejabat di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Artinya, jabatan seperti menteri di kabinet, pejabat Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), hingga anggota DPR pun termasuk pejabat politik.

Sebetulnya, lanjut Mahfud, istilah korupsi politik belum ada dalam hukum tertulis di Indonesia. Namun dua kasus korupsi di Indonesia pernah ditetapkan sebagai kasus korupsi politik, yakni Anas Urbaningrim dan Rina Iriani, eks Bupati Karanganyar. Keduanya terbukti melakukan korupsi dengan menggunakan jabatan politik.

Mahfud lantas mengambil contoh kasus Bank Century yang hingga kini belum tuntas. Ia mengatakan, bisa saja pihak-pihak yang terlibat di baliknya saling mengancam dengan pihak lain yang juga terseret kasus korupsi lain. Dalam kasus korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, lanjutnya, KPK juga tidak bisa cepat mengusut karena tak mudah mengumpulkan bukti.

"Yang ketangkap kan yang apes saja. Itu yang selalu ditagih ke KPK. Sulit loh, karena KPK tidak bisa sembarangan tangkap orang. Mau bongkar kasus bank century, nanti ada yang bilang 'jangan lupa kamu juga punya kasus BLBI, saling ancam saja. Sulit KPK mencari bukti," ujar Mahfud.

Berdasarkan data-data tertutup yang pernah ia terima, Mahfud mengingatkan bahwa KPK tidak bisa secara sembarangan dituduh tebang pilih kasus. Menurutnya, KPK memang harus memilih-memilih untuk menyelesaikan kasus yang memang lebih terjangkau untuk ditangani. Hal itu bukan berarti KPK enggan merampungkan kasus-kasus raksasa seperti Bank Century.

"Karena secara teknis hukum tidak mudah. begitu KPK gagal membuktikan, maka kredibilitas KPK akan dipertaruhkan. Wajar jika KPK tebang pilih, alias memilih mana dulu yang bisa cepat diselesaikan," katanya.

Pusaran korupsi politik memang tak melulu berada di dalam partai politik. Namun Mahfud memandang bahwa salah satu 'sumber' masalahnya ada di partai politik. Ia lantas mengajukan usul agar partai politik bisa disehatkan. Caranya, pemerintah bisa mengalokasikan anggaran untuk partai politik dan memberi wewenang bagi parptai untuk menjalankan usahanya sendiri.  

"Agar orang kalau aktif di parpol tak perlu cari uang untuk menyuap dan agar tidak menerima suap dan mencuri uang negara. Parpol boleh jalankan usaha halal dan terbuka, bisa diaudit dan tidak pengaruhi proses fairplay dalam pelaksanaan usaha nasional," katanya.

Praktik korupsi politik ini kemudian, menurutnya, akan semakin deras dilakukan seiring masuknya tahun politik. Bila solusi penyehatan partai terlalu 'mepet' untuk dijalankan, maka mau tak mau solusinya adalah pengetatan pengawasan. Untuk hal ini, Mahfud menilai peran media massa justru lebih besar dibanding pengawasan formal yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

"Anda yang wartawan di medsos ini jauh lebih efektif dibanding pengawasan resmi. Orang takut pada Anda, yang suka main di media massa dan medsos. Tapi pengawasan formal harus bertindak tegas," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement