Sabtu 15 Sep 2018 05:14 WIB

Larangan Napi Menjadi Caleg Bukan Hal yang Mengejutkan

KPU yang sudah membuat aturan administratif terkait peraturan pendaftaran caleg.

Rep: Muhammad Ikhwanuddin/ Red: Andi Nur Aminah
Pengamat politik Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti
Foto: Republika/Bayu Adji P
Pengamat politik Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan pengujian PKPU nomor 20/2018 tentang larangan mantan narapidana untuk menjadi caleg. Hal tersebut, dinilai bukan suatu hal yang aneh.

Pengamat politik Ray Rangkuti mengatakan, putusan MA tersebut merupakan suatu kelaziman. "Pembatasan politik bagi penjahat amanah publik adalah hal biasa bagi elit bangsa ini," ujar dia, Jumat (14/9).

Ray menilai, putusan MA itu menegaskan peraturan yang sudah ada. Hal itu disebabkan karena KPU yang sudah membuat aturan administratif terkait peraturan tentang pendaftaran caleg. "Sejak awal ada syarat bahwa calon pemimpin itu harus sehat rohani, meminta SKCK, menyatakan tidak pernah dipidana pada kasus apapun, dan harus berusia minimal 30 tahun serta lulus minimal SMA," katanya.

Semua sarat-sarat administratif itu, lanjut Ray, dimaksudkan agar pemimpin rakyat Indonesia adalah yang tercakap, tak pernah dipidana, mengerti moral dan kultur bangsa dan punya hasrat yang kuat untuk mengelola pemerintahan yang bersih dan terbuka. "Yang tersurat itulah yang kemudian dinyatakan lebih tegas oleh KPU," tambahnya.

Oleh karena itu, Ray tidak melihat PKPU soal larangan napi koruptor itu sebagai sesuatu yang baru, apalagi bertentangan dengan UU atau moralitas bangsa. PKPU hanya menyiratkan apa yang tersurat.

"Lebih-lebih para koruptor ini tidak pernah secara terbuka menyatakan menyesal dan meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas kejahatannya melakukan pengkhianatan terhadap amanah masyarakat," tegas dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement