Senin 10 Sep 2018 23:39 WIB

KPAI Meminta Industri tak Khawatirkan Kebijakan SKM

Kebijakan BPOM terkait susu kental manis dilindungi anak dan tak hambat investasi

Susu kental manis (ilustrasi)
Foto: Istimewa
Susu kental manis (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawati mengatakan kebijakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait susu kental manis tidak ada kaitannya dengan investasi. Hal itu disampaikan Sitti menanggapi kekhawatiran pihak pengusaha dan produsen bahwa  perubahan kebijakan BPOM akan menganggu iklim investasi Indonesia.

“Saya kira pandangan itu keliru. Kebijakan BPOM adalah untuk melindungi anak, tidak ada kaitannya dengan menghambat investasi. Seharusnya ini tidak perlu menjadi kekhawatiran pengusaha,” tutur Sitti berdasarkan rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (10/9).

Lebih lanjut, Sitti menjelaskan investasi dibidang ekonomi seharusnya memiliki sinergi dengan investasi dibidang kesehatan anak. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang dikeluarkan terkait perlindungan kesehatan anak, seharusnya juga berdampak positif terhadap perekonomian. 

Di awal keluarnya SE BPOM tentang Label dan Iklan pada produk Susu Kental Manis dan Analognya, KPAI sudah pernah melakukan mediasi dengan produsen. “Intinya, dari beberapa hal yang disarankan KPAI , prudusen menyatakan sudah siap menaati, asalkan nantinya aturan tersebut keluarnya satu pintu,” ungkap Sitti. Satu pintu yang dimaksud merujuk pada lembaga yang mengeluarkan kebijakan tersebut yaitu BPOM. 

Dalam pertemuan dengan GAPPMI beberapa waktu lalu, KPAI menurut Sitti juga telah menyampaikan bahwa concern terhadap produk susu kental manis adalah kandungan gizinya yang kurang. “Jika konsentrasi proteinnya dapat dinaikkan hingga batas tertentu, mungkin bisa jadi alternatif. GAPPMI juga menyatakan mensupport masyarakat Indonesia dari sisi pemenuhan gizi. Jadi seharusnya tidak perlu ada ketakutan. Yang harus diluruskan adalah peruntukannya yang selama ini tidak sesuai,” jelas Sitti. 

Sebagaimana diketahui, SE BPOM terkait susu kental manis menyoroti perihal label dan iklan pada produk susu kental manis dan analognya. Terdapat empat point yang menjadi perhatian BPOM yaitu dilarang menampilkan anak usia dibawah 5 tahun, dilarang menggunakan visualisasi susu kental manis disetarakan dengan produk susu lain, dilarang menggunakan visualisasi gambar susu cair dalam gelas (diseduh) dan larangan penayangan iklan susu kental manis pada jam anak-anak. 

Oleh karena itu guna mencegah polemik berkelanjutan, Sitti berharap kebijakan tentang susu kental manis harus terus dikawal. “Karena itu, sekarang kita butuh payung hukum yang lebih kuat, yaitu aturan tentang kategori produk pangan yang saat ini sedang disiapkan, kita tunggu BPOM,” kata Sitti.

Di lain pihak, ketua Dewan Persusuan Nasional Teguh Boediyana mengatakan polemik susu kental manis kali ini bukan yang pertama kalinya terjadi di Indonesia. Ia menyebutkan, pada tahun 70 an, saat susu kental manis merupakan jenis susu yang banyak diproduksi sempat terjadi kasus yang sama.

Karena ketidak tahuan konsumen dan minimnya informasi pada label produk, susu kental manis diberikan untuk bayi. Akibatnya, bayi menderita masalah pencernaan dan mencret. Peristiwa ini mendapat protes keras oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

“Ini masanya Badan POM harus menata ulang kebijakan, dimana harus ada kejelasan produk yang disebut susu memiliki kandungan susu berapa persentase susu segar, berapa persentase susu rekonstitusi, harus ada pendidikan untuk konsumen mengenai contain, bahkan sekarang ada yang menggunakan lemak nabati dan bukan lemak susu, produsen harus terbuka dong,” jelas Teguh. 

Guna menghindari terjadi kasus serupa, Teguh mengingatkan ada baiknya asosiasi memberikan pendidikan untuk konsumen dan tidak hanya menyerahkan pada pemerintah. “Intinya bagaimana agar konsumen mendapat penjelasan yang utuh. Tidak semua yang putih itu ada gizinya,” ungkap Teguh. 

Teguh tak menampik bila kebijakan BPOM akan berdampak terhadap investasi di Indonesia. Namun persoalan itu seharusnya dikembalikan pada ketentuan-ketentuan Kementerian Perindustrian , Kementerian Perdagangan dan pihak terkait lainnya. “Dari sisi industri tentu berdampak. Tapi jangan sampai bisnis ini juga sampai berimplikasi terhadap gizi. Perdagangan harus dilandasi fairness,” Teguh mengingatkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement