Rabu 05 Sep 2018 10:26 WIB

Putusan MA Adalah Kunci

MA menunggu putusan MK soal UU Pemilu.

Rep: Ronggo Astungkoro/Dian Erika Nugraheny/ Red: Muhammad Hafil
Penyaringan caleg mantan koruptor
Foto: republika
Penyaringan caleg mantan koruptor

REPUBLIKA.CO.ID,  Mahkamah Agung (MA) diminta untuk memprioritaskan percepatan keputusan perkara Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 20/2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif. Hal tersebut bertujuan agar polemik larangan nyaleg untuk para mantan koruptor bisa diselesaikan.

"Sudah ada kesepakatan dari perbincangan yang cukup panjang tadi, pada akhirnya semua pihak akan meminta kepada MA untuk melakukan percepatan keputusan, apakah keputusan KPU pada PKPU itu ditolak atau dibenarkan," kata Menko Polhukam Wiranto usai melakukan rapat koordinasi KPU, Bawaslu, dan DKPP di kantor Kemenko Polhukam, Selasa (4/9).

Menurut Wiranto, kunci dari permasalahan yang kini tengah berkembang di masyarakat adalah keputusan MA. Ia mengatakan, saat ini sudah banyak spekulasi yang muncul di masyarakat yang berimplikasi pada stabilitas politik nasional.

"Kuncinya tatkala MA telah memutuskan PKPU itu dibenarkan atau ditolak. Finalisasi di situ, langkah-langkah KPU maupun Bawaslu akan bertumpu pada keputusan itu," ujar Wiranto.

Dengan meminta MA untuk memprioritaskan masalah ini, Wiranto merasa, KPU dapat diberikan kesempatan untuk menyelesaikan penetapan daftar calon tetap (DCT). Di mana KPU memang harus sudah melakukan penetapan DCT tersebut pada 20 September mendatang.

Setelah mengundang KPU dan Bawaslu untuk rapat koordinasi, Wiranto mendengarkan pendapat keduanya. Ia menilai kedua lembaga penyelenggara pemilu itu memiliki argumen yang rasional dan sahih.

"Memang tidak ada yang salah di antara lembaga pemangku kepentingan itu. Kita tidak cari salah-benar, tapi mendalami argumentasi hukum yang melandasi keputusan-keputusan itu," ungkapnya.

Baca juga: Tito Karnavian: Saya Bingung Kadang Dipersepsikan Anti-Islam

Soal keputusan-keputusan yang diambil ternyata bertentangan, lanjut dia, itu lain soal. Karena itu, dalam rapat koordinasi ini semua pihak tidak menyatakan mana yang salah dan mana yang benar. Rapat koordinasi dilakukan untuk menyatukan pendapat yang berbeda ke dalam satu visi.

"Di mana semangatnya sama sebenarnya, kita semua memang antikorupsi dan jangan samai nanti para pejabat ke depan nanti sarat denan orang-orang yang pernah cacat akibat tindak pidana korupsi itu," katanya.

Senada dengan Wiranto, Ketua KPU Arief Budiman juga menyebut jalan keluar dari polemik yang berkembang saat ini terkait PKPU adalah putusan MA. Selama putusan tersebut belum diketok palu, KPU akan tetap mengacu pada PKPU.

"Karena ada beda pendapat, saya pikir untuk persoalan seperti ini jalan keluarnya adalah putusan MA terkait judicial review itu. Saya berharap semua menghormatinya," ujar Arief.

Menurutnya, apakah nantinya PKPU dinyatakan sesuai dengan UU atau tidak, semua pihak harus menghormatinya. Semua pihak pun harus pula mengimplementasikan putusan tersebut.

"Kalau dinyatakan tidak sesuai, ya KPU akan ikuti apa yang diatur dalam UU. Tapi kalau sesuai UU, maka apa yang dilakukan KPU sekarang itu yang kita ikuti," jelasnya.

Ia menilai, proses ini sebetulnya tidak mengganggu proses penetapan daftar calon tetap (DCT) Pemilu 2019. Itu karena setiap tahapan sudah mengatur aktivitas di masing-masing tahapan, jadi apa pun putusannya dan kapan pun putusan itu dikeluarkan, KPU akan masuk ke tahapan tersebut.

"Kecuali putusan MA itu memerintahkan secara eksplisit KPU harus melakukan apa. Di tahapan apapun, kalau diperintahkan eksplisit maka akan dikerjakan," kata Arief.

Baca juga: KPU Tegaskan Deklarasi #2019GantiPresiden Bukan Kampanye

Misalnya, sambung Arief, tahapan pencalonan sudah lewat, tapi KPU diperintahkan memasukkan calon tersebut. Jika demikian, KPU harus membuat tahapannya untuk memasukkan nama mereka. Tapi, kalau tidak ada perintah itu, tahapan yang saat ini tengah berjalan sudah sesuai tahapan yang sudah disusun KPU.

Untuk itu, selama belum ada putusan MA, KPU akan mengacu kepada PKPU. Arief menuturkan, dalam surat KPU yang dikirimkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pihaknya mengatakan kalau ada putusan yang tak sesuai PKPU, maka KPU belum bisa menindaklanjuti putusan itu.

"Kami tidak mengatakan putusan itu kami tolak, tapi tidak sesuai dengan PKPU. Syarat-syarat ketentuan itu tidak sesuai. Kecuali PKPU ini dinyatakan tidak sesuai UU maka kita jalankan putusan MA itu," ujar Arief.

Polemik

Masalah ini bermula saat PKPU NO 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif mengatur tentang larangan nyaleg bagi mantan narapidana kasus korupsi, narkoba, dan kejahatan seksual anak. PKPU ini resmi disahkan oleh pemerintah pada awal Juli lalu.

Pengesahan PKPU ini sebelumnya juga menuai polemik panjang. Di mana, pemerintah, DPR,  dan Bawaslu tidak menyetujui aturan ini karena dianggap bertentangan dengan UU Pemilu yang tidak mengatur narapidana kasus tersebut dilarang menjadi caleg. Namun akhirnya, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM mengesahkan aturan ini.

Meski dilarang menjadi caleg, namun para mantan koruptor itu tetap dibolehkan untuk mendaftar. Hal tersebut berdasarkan kesepakatan antara DPR, pemerintah, KPU, dan Bawaslu.

Hasilnya, para mantan koruptor yang mendaftar, dikembalikan oleh KPU ke partainya masing-masing. Namun, kemudian banyak mereka yang dikembalikan itu tak puas dan mengajukan sengketa penetapan calon ke Bawaslu.

Hingga  Selasa (5/9),  sudah ada 17 orang mantan koruptor yang mengajukan sengketa penetapan calon ini ke Bawaslu. Dari jumlah itu, 12 orang di antaranya dinyatakan lolos menjadi bakal caleg oleh Bawaslu.

photo
Parpol penyumbang bakal caleg eks mantan narapidana korupsi.

Hal ini lah yang memicu kontroversi. Karena, KPU bersikeras dengan aturan PKPU yang melarang eks koruptor tak boleh nyaleg karena sudah diundangkan. Sedangkan Bawaslu, berpendapat aturan itu tak ada dalam UU Pemilu dan hasil putusan sengketa di Bawaslu harus dilaksanakan oleh KPU. 

Hal ini lah yang kemudian membuat pemerintah, Bawaslu, KPU, dan DKPP sepakat untuk meminta putusan MA soal PKPU tentang Pendaftaran Caleg. Karena sebelumnya juga ada gugatan dari orang-orang yang tidak puas terhadap aturan ini. Terutama, soal larangan eks koruptor menjadi caleg.

Empat orang mantan narapidana kasus korupsi mengajukan gugatan uji materi atas peraturan PKPU ini ke MA. Tiga dari empat pemohon gugatan tersebut sebelumnya berencana maju sebagai caleg pada Pemilu 2019.

Baca juga: Sri Mulyani: Pelemahan Rupiah Positif untuk APBN

Hal itu diungkapkan oleh salah satu pemohon gugatan, Patrice Rio Capella, ketika dihubungi pada Selasa (10/7). Menurut Rio, gugatan uji materi telah disampaikan ke MA pada Senin (9/7). "Benar, kami sudah mengajukan gugatan pada Senin. Ada empat orang yang mengajukan gugatan, yakni saya, Darmawati Dareho, Al Amin Nasution, dan Sarjan Tahir. Semuanya eks narapidana kasus korupsi," ujar Rio.

Rio menjelaskan, ada aturan dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk maju sebagai caleg, baik di tingkat DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Aturan itu, kata Rio, bertentangan dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang tidak menegaskan adanya larangan mencalonkan diri sebagai caleg bagi mantan koruptor.

Alasan kedua, Indonesia sudah meratifikasi hukum hak asasi manusia (HAM) internasional, yang salah satunya memuat tentang hak sipil dan politik. Salah satu poin dalam hukum itu yakni adanya hak sipil untuk ikut serta dalam pemerintahan, yang tidak boleh dihilangkan dalam kondisi dan alasan apa pun.

"Banyak poin yang kami muat dalam gugatan itu, dan kami minta MA untuk memberikan keputusannya yang adil, tidak membunuh hak konstitusi orang dengan alasan apa pun, apalagi dengan urusan politik. Kebijakan KPU tak boleh menghilangkan hak konstitusi seseorang," katanya menegaskan.

Tak bisa dipaksakan

Menanggapi desakan dari berbagai pihak itu, MA menyatakan untuk memutuskan gugatan PKPU, MA menunggu putusan uji materi UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu dilandasi oleh UU MK No.24/2003.

"Sebelumnya kami tanyakan Pak Hatta Ali (Ketua MA), gugatan PKPU ini secara prinsip MA menunggu putusan JD di MK. Supaya putusan MK dan MA tidak tolak belakang," ungkap Juru Bicara MA Suhadi saat dihubungi, Selasa (4/9).

Landasan hukum untuk itu, kata Suhadi, adalah Pasal 53 UU MK No. 24/2003. Pada pasal tersebut dikatakan, MK memberitahukan kepada MA, ada uji materi suatu UU terhadap UUD dalam tempo paling lama tujuh hari kerja terhitung mulai UU itu didaftarkan.

Ia melanjutkan, Pasal 55 pada UU yang sama menyebutkan, jika perkara uji materi di MA yang UU-nya sedang diuji materi di MK, maka proses uji materi di MA wajib untuk dihentikan sementara sampai ada putusan dari uji materi di MK.

"Nah, itulah dasarnya MA belum memeriksa perkara itu. Kalau belum semua putusan judicial review di MK yang menyangkut UU itu. Sampai sekarang belum semuanya diputus oleh MK. Di situlah yang ditunggu oleh MA," katanya.

Suhadi menuturkan, pada dasarnya, jangan sampai putusan MK dan MA saling bertolak belakang. Karena andai kata MA memutuskan mengabulkan, dan MK menyatakan itu bertentangan dengan UU, maka putusan MA jadi tidak ada artinya lagi. Itu semua termasuk juga PKPU yang digugat ke MA.

"Itu dasarnya. Jadi, UU PMK itu. Jadi, tidak bisa dipaksakan kalau judicial review di MK belum putus," tambah Suhadi.

Sementara, MK  menyatakan MA tak perlu menunggu putusan uji UU Pemilu untuk menangani gugatan PKPI. Norma UU Pemilu yang diuji di MK saat ini disebut tak ada kaitannya dengan norma yang diuji di MA.

"Norma PKPU yang diuji di MA itu tidak ada kaitannya dengan yang diuji oleh MK," ungkap Juru Bicara MK Fajar Laksono, Selasa (4/9).

Karena itu, kata Fajar, tidak ada alasan bagi MA untuk menunda uji materi PKPU dengan dalilnya. Di mana dalil PKPU yang digugat ke MA terkait dengan calon legislatif mantan narapidana korupsi, narkoba, dan pelecehan seksual terhadap anak.

Ia menuturkan, MK memang sedang menguji UU Pemilu. Tapi, norma yang diuji di MK terkait dengan masa jabatan wakil presiden, dana kampanye, dan citra diri. Semua itu ia sebut tidak ada hubungan atau kaitannya dengan norma PKPU yang sedang diuji di MA.

Landasan hukum akan hal itu ia sebut ada di dalam putusan MK No. 93 tahun 2017. Di mana yang diuji oleh MK adalah Pasal 55 UU MK. Menurut putusan itu, MA wajib menunda pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU sepanjang norma yang diuji ada kaitannya dengan yang diuji di MK.

"Jadi disitu disinggung sepanjang norma itu berkaitan. Kalau itu tak berkaitan apa yang ditunggu. Harus segera memeriksa dan boleh memutus. Tidak boleh menunda, karena normanya tidak berkaitan," kata dia.

photo
Alasan KPU melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement