Jumat 03 Aug 2018 05:03 WIB

Napoleon dan Machiavelli: Untuk Apa Jadi Presiden?

Untuk apa jadi Presiden kalau sekedar ingin jadi Napoleon atau Machiavelli?

Napoleon saat di Mesir.
Foto:
Napoleon saat di Mesir.

Pada 10 Agustus ini, Indonesia akan memasuki babak baru dalam sejarah pemilihan presiden secara langsung.Terindikasi semua capres dan cawapres semuanya Muslim. Salah satu pasangan calon itu pun bisa berasal dari kalangan tokoh-tokoh Islam tertentu. Tentu, semua paham, bahwa agama adalah komoditas politik yang sangat penting untuk meraih dukungan.

Sejarah menunjukkan, di luar Napoleon, banyak politisi sekular yang tahu benar cara menggalang dukungan dari umat beragama. Ariel Sharon, politisi sayap kanan sekuler, manggalang dukungan Yahudi ortodoks dengan mengangkat isu hak teologis-historis Yahudi atas Temple Mount.

Theodore Herzl, seorang sekular, mengeksploitasi ayat-ayat dalam Bible tentang hak historis-teologis bangsa Yahudi atas “The Promised Land” untuk memberikan legitimasi gerakan Zionis. Dahulu, George W Bush, meraih dukungan kuat dari kalangan New Christian Right, melalui pencitraannya sebagai “orang Kristen yang lahir kembali” (reborn Christian). Ketika ditanya, siapa filosof favoritnya, Bush menjawab, ”Jesus Kristus”.

Kini, di Indonesia, para capres/wapres sibuk menggalang dukungan rakyat Indonesia yang sekitar 180 juta pemilih yang diantaranya adalah Muslim. Sebuah potensi pasar yang sangat besar. Logis, jika suara warga muslim dari berbaai ormas misalnya, menjadi ajang rebutan seru sejumlah kandidat. Apakah para capres/wapres benar-benar berniat melaksanakan ajaran Islam dalam diri, keluarga, partai, atau bangsa Indonesia, sejarah yang akan melihatnya dan mencatatnya.

Dalam rumus politik sekular, suara rakyat adalah suara “Tuhan”, vox populi vox dei. Rakyat dipandang sebagai sumber kebenaran, bukan wahyu Tuhan. Maka, tidakah aneh, jika para politisi sekuler, akan lebih menghitung dukungan rakyat, ketimbang kebenaran wahyu.

Para politisi demokrat di AS dan Belanda, misalnya, harus menyatakan dukungannya kepada praktik homoseksualitas, karena banyak rakyat yang sudah hobi dengan maksiat itu. Di Israel, beberapa tahun lalu, ada tokoh partai sekluar dari Likud pun mendukung agenda kaum homoseks.

Bat-Sheva Shtauchler, tokoh Likud, menyatakan: "We will support everything. Who said the Likud doesn't cooperate with the community?" Biasanya, Likud termasuk yang menentang keras praktik homoseksual, karena mengharapkan dukungan kaum Yahudi Ortodoks, yang berpegang pada Bible (Imamat, 20:13), bahwa pelaku homoseksual harus dihukum mati.

Maka, uUntuk meraih dukungan rakyat yang berbagai macam inilah, tidak jarang ada politisi yang mencoba menyenangkan semua kelompok. Yang penting, di sini senang, di sana senang. 'Likulli maqaam maqaal' (Setiap tempat ada jenis perkataan sendiri).

Kadangkala, bukan sekedar diplomasi, tetapi berbohong pun dianggap halal dan biasa. Yang penting kekuasaan tercapai. Dusta dipandang biasa. Padahal, Nabi Muhammad saw mengingatkan: “Tanda-tanda orang-orang munafik ada tiga: jika bicara dusta, jika berjanji ingkar, dan jika dipercaya khianat.”

Dusta, ingkar janji, dan khianat terhadap amanah, adalah ciri-ciri orang munafik. Itu memang baru tanda-tanda. Para capres/wapres tentu tidak ingin dimasukkan (oleh Allah SWT) ke dalam golongan orang munafik. Mereka ada yang sudah dan akan menuliskan janji-janjinya dan menyerahkannya ke KPU. Indah dan ideal sekali janji-janji mereka.

Ada yang menjanjikan akan mengangkat martabat bangsa, mewujudkan pemerintahan yang baik, penegakan hukum, perlindungan HAM, memperbaiki pendidikan nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan rekonsiliasi nasional.

Ada juga yang akan menjanjikan akan memperkokoh NKRI, mengukuhkan martabat bangsa melalui pembangunan karakter, kepribadian, dan kemampuan bangsa; mewujudkan kemakmuran dan keadilan rakyat; mewujudkan kedaulatan rakyat; dan mewujudkan persamaan warga negara.

Ada juga yang menjanjikan untuk menyempurnakan reformasi politik dan menggelindingkan penyelesaian reformasi hukum, pertahanan keamanan ketertiban (hankamtib), kelembagaan birokrasi, sosial, juga ekonomi.

Dan ingat sebenarnya, hampir tidak ada yang baru dalam janji-janji para capres/wapres itu nanti. Yang ditunggu oleh rakyat adalah realisasinya. Sama dengan rezim-rezim dan penguasa sebelumnya. Para calon itu pun paham bahwa kondisi bangsa ini sangat pelik, serius, dan dalam beberapa hal sudah menjadi lingkaran setan.

Kondisi Indonesia saat ini sungguh “luar biasa”. Karena itu, jika ditangani dengan “biasa-biasa” saja, tidak akan banyak hasil yang diraih. Indonesia membutuhkan pemimpin yang biasa-biasa saja, tetapi berani dan mampu melakukan tindakan yang “luar biasa”. Perampasan harta koruptor, pemberdayaan kaum dhu’afa, perombakan besar-besaran sistem dan aparat hukum, perombakan mendasar mental aparat dan rakyat, peletakan budaya ilmu, dan sebagainya. Semua itu merupakan kerja yang luar biasa.

Problem penegakan hukum, misalnya, menyangkut hampir semua aspek: unsur materi hukum, aparat pelaksana, institusi hukum, dan juga mental masyarakat. Dalam keadaan sistem dan aparat hukum saat ini, pengadilan terhadap koruptor bisa menjadi ajang korupsi, pemerasan, dan pesta baru. Semua orang tahu, bagaimana perlakuan istimewa yang diterima narapidana berduit di berbagai LP.

Karena itu, jika para capres/wapres masih berpikir biasa-biasa saja untuk Indonesia -- apalagi jika mereka lebih berpikir untuk kepentingan diri dan kroninya -- kita tidak perlu berharap terlalu besar pada mereka. Anggaplah pada April 2019 adalah hari biasa-biasa saja. Karena memang tidak akan ada apa-apa yang penting untuk Indonesia di masa depan.

Kalau begitu, untuk apa jadi Presiden kalau sekedar ingin jadi Napoleon atau Machiavelli? Wallahu a’lam.

 

Kuala Lumpur

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement