Jumat 03 Aug 2018 05:03 WIB

Napoleon dan Machiavelli: Untuk Apa Jadi Presiden?

Untuk apa jadi Presiden kalau sekedar ingin jadi Napoleon atau Machiavelli?

Napoleon saat di Mesir.
Foto: MilitaryHistoryNow.com
Napoleon saat di Mesir.

Oleh: DR Adian Husaini, Jurnalis Senior

Sejarawan Mesir terkenal, Abdurrahman al-Jabarti (1697-1825), membuat catatan sejarah menarik tentang kiat Napoleon Bonaparte dalam menggaet dukungan rakyat Mesir. Ketika itu, tahun 1798, Napoleon datang dengan 36.000 pasukan diangkut dalam 400 kapal.

Napoleon, tulis Jabarti, menyebarkan pamflet kepada rakyat Mesir. Isinya menarik. Diawali dengan ungkapan “Bismillaahirrahmanirrahiim. Laa ilaaha illallah, laa walada lahu, wa laa syariika fii mulkihi.” (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tidak ada tuhan selain Allah. Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu dalam Kekuasaan-Nya.)

Tak hanya itu, Napoleon juga mengaku taat beribadah kepada Allah SWT dan mengagungkan Nabi Muhammad saw serta al-Quran yang agung. Bangsa Perancis dikatakannya merupakan Muslim yang taat, yang telah menyerbu Roma dan menghancurkan Tahta Suci, serta menaklukkan pasukan Kristen di Malta.

Apa yang dilakukan Napoleon dalam menggaet dukungan rakyat Mesir bisa dikatakan kiat khas politisi sekularis-Machiavelis. Baginya, agama hanyalah faktor pelengkap. Agama dipandangnya laksana baju, yang bisa dipakai dan ditanggalkan, kapan saja diperlukan. Hari ini mengaku taat beragama, besok bisa menghina dan membuang agama.

Istilah seorang dai: STMJ (Salat Terus Maksiat Jalan). Jam ini bersahabat dengan kyai, jam-jam berikutnya bersyubuhat dengan penjudi. Agama bukan dipandang sebagai faktor internal, tetapi sebagai keperluan kontemporer, tergantung waktu dan tempat. Iman dan kekufuran bukan dipandangnya soal serius.

photo
Napoleon berbicara di depan para elit di Mesir. (Foto: Napoleon.org)

Napoleon merupakan salah satu contoh tokoh politik Eropa modern yang trauma dengan sejarah dominasi agama di Eropa, dan Perancis khususnya. Sehingga, ia aktif melakukan proses sekularisasi politik.

Ketika berkuasa, kaum agamawan di Perancis termasuk satu dari tiga estate yang mendapatkan berbagai keistimewaan. Hegemoni dan penyalahgunaan kekuasaan agama menjadikan rakyat Eropa muak, sehingga mereka membuat slogan: “Beware of a women if you are in front of her, a mule if you are behind it, and a priest wether you are in front or behind.” Hati-hatilah, jika anda berada di depan wanita; hati-hatilah, jika anda berada di belakang keledai; dan hati-hatilah jika anda berada di depan atau di belakang pendeta.

Secara lebih ekstrim, sekularisasi moral politik diajarkan oleh Machiavelli. Bukunya, The Prince, oleh banyak pemikir, dianggap memiliki nilai tinggi yang memiliki pengaruh besar dalam sosial politik umat manusia. Kadangkala, buku ini disejajarkan dengan The Old Testament dan The New Testament. Tujuan utama dari suatu pemerintahan, menurut dia, adalah “survival”. Dan ini melampaui nilai-nilai moral keagamaan dan kepentingan dari individu-individu dalam negara. Dengan membuang faktor “baik dan buruk” dalam kancah politik, Machiavelli membuat saran, bahwa seorang penguasa boleh menggunakan cara apa saja untuk menyelamatkan negara.

Penguasa-penguasa yang sukses, kata dia, selalu bertentangan dengan pertimbangan moral dan keagamaan.  Maka, kata Machiavelli lagi, “Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan kekejaman dan terror. Yang terpenting dari pemikiran Machiavelli adalah ia telah mengangkap persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan.

Alhasil, politik dipandang sekedar “seni untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan”, semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement