Selasa 31 Jul 2018 08:07 WIB

Akankah Pemerintah Berikan Blok Rokan ke Pertamina?

Kontrak Chevron sebagai pengelola Blok Rokan akan habis pada 2021.

Pekerja sedang berada di kilang minyak
Foto: ap
Pekerja sedang berada di kilang minyak

REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah dalam waktu dekat akan memutuskan masa depan Kontrak Kerja Sama Blok Rokan di Riau, setelah periode kontrak PT Chevron Pacific Indonesia sebagai pengelola lapangan migas tersebut habis pada September 2021. Chevron sudah 50 tahun mengelola Blok Rokan atau sejak 1971.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerima proposal dari PT Pertamina (Persero) dan PT Chevron Pacific Indonesia terkait dengan pengelolaan Blok Rokan pascaterminasi. Chevron sebagai kontraktor lama mengajukan proposal perpanjangan kontrak Blok Rokan ke pemerintah, pertengahan Juli ini.

Kemudian, diikuti oleh perusahaan negara PT Pertamina, dengan mengajukan penawaran pengambilalihan blok migas terbesar di Tanah Air tersebut. Peluang Chevron untuk memperpanjang kontrak Blok Rokan terbuka setelah pemerintah pada April 2018, menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Yang Akan Berakhir Kontrak Kerja Samanya.

Dalam aturan tersebut, pemerintah memberikan kesempatan kepada kontraktor eksis (pemegang kontrak saat ini) untuk mendapatkan perpanjangan kontrak di blok migas terminasi atau kontrak kerja samanya telah berakhir.

Blok Rokan sesungguhnya adalah lapangan migas berusia tua dengan wilayah kerja seluas 6.264 kilometer (km) persegi. Lapangan Minas dan Duri di Blok Rokan bahkan sudah mulai berproduksi lebih dari separuh abad yang lalu. Saat itu, Chevron masih bernama Caltex.

Meskipun lapangan tua dan sudah melewati fase perolehan minyak primer dan sekunder, daya tarik Blok Rokan tetap kuat. Sebagai lapangan migas terbesar di Asia Tenggara, serta tingkat produksi yang tetap bersinar selama puluhan tahun, wajar Blok Rokan menjadi incaran Pertamina dan Chevron. Terbukti dua raksasa migas siap bertarung memperebutkan hak pengelolaan blok tersebut.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) mencatat realisasi produksi minyak siap jual (lifting) Blok Rokan per Maret 2018, mencapai 212 ribu barel minyak per hari (bph). Dengan produksi sebesar itu, Blok Rokan mendominasi pasokan produksi minyak RI.

Kemampuan produksi Blok Rokan yang mumpuni saat ini ditopang oleh penggunaan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) di lapangan Duri, sumur minyak terbesar blok tersebut. Teknologi ini terbukti ampuh dalam meningkatkan produksi dan memperpanjang usia produktif lapangan-lapangan minyak tua.

Metode EOR yang dipakai di Duri adalah injeksi uap (steamflood). Teknologi ini membuat produksi Lapangan Duri lima kali lebih banyak dibandingkan dengan teknologi konvensional. Chevron mengklaim penerapan injeksi uap di lapangan Duri merupakan yang pertama di Indonesia dan salah satu yang terbesar di dunia.

Teknologi injeksi uap telah diaplikasikan di Duri sejak 1985 untuk meningkatkan produksi minyak berat (heavy oil) dari lapangan tersebut. Seorang ahli teknik perminyakan yang bekerja di proyek Duri, Ilmy Razanindra, menjelaskan karakteristik minyak Duri sangat kental dan tingkat kepekatannya yang tinggi.

Sifat kental dan pekat tersebut membuat cadangan minyak di dalam sumur Duri sulit dialirkan dan diangkat ke permukaan reservoir dengan teknologi konvensional. Penggunaan injeksi uap akan memudahkan pengambilan minyak kental tersebut.

"Di Duri, uap disuntikkan dekat dengan dasar reservoir melalui sumur injeksi. Uap air naik ke permukaan reservoir. Uap mengalirkan panas ke minyak berat dingin, mengurangi tingkat kekentalan sehingga minyak dapat lebih mudah bergerak untuk dialirkan ke sumur-sumur produksi," ujar Razanindra.

Cara pengambilan minyak dengan injeksi uap dilakukan pula oleh Chevron di Lapangan Kern River, Kalifornia, yang telah berusia 119 tahun, sejak 1970-an. Dalam proposal penawaran baru kepada SKK Migas dan Kementerian ESDM, Chevron juga menjanjikan penggunaan teknologi EOR skala penuh (full scale). Penerapan teknologi itu diyakini mampu meningkatkan kapasitas cadangan minyak di Blok Rokan hingga 1,2 miliar barel.

Perusahaan yang berkantor pusat di Kalifornia, Amerika Serikat (AS), menawarkan investasi senilai total 88 miliar dolar AS (setara Rp 1,277 triliun) jika KKS Chevron di Wilayah Kerja Blok Rokan diperpanjang hingga 2041. Dari komitmen 88 miliar dolar AS, Chevron menawarkan investasi dalam 10 tahun pertama sebesar 33 miliar dolar dan untuk 10 tahun selanjutnya sebesar 55 miliar dolar.

"Untuk investasinya 10 tahun pertama bisa memastikan 500 juta barel minyak dan 10 tahun kedua menghasilkan 700 juta barel," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan usai bertemu dengan Managing Director Chevron IndoAsia Business Unit Chuck Taylor.

Proposal Pertamina

Proposal penawaran serupa juga telah diajukan PT Pertamina (Persero) kepada Kementerian ESDM untuk bisa mengambilalih pengelolaan Blok Rokan. Vice President Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito mengatakan, perusahaannya sangat siap mengelola Blok Rokan meskipun sempat mencuat isu adanya masalah keuangan di tubuh BUMN ini.

Pertamina menegaskan mampu menyediakan dana investasi yang dibutuhkan apabila ditunjuk oleh pemerintah sebagai pengelola baru Blok Rokan. Perseroan juga sudah menyiapkan strategi untuk mengalahkan penawaran yang diajukan Chevron.

BUMN migas tersebut menilai potensi pengembangan Blok Rokan sangat menjanjikan. Dengan produksi sekitar 200 ribu barel per hari dan harga minyak yang mencapai 65-70 dolar AS per barel, menurut Adiatma, tidak sulit bagi Pertamina untuk mengatasi pendanaannya.

Untuk pengembangan produksi, Pertamina juga menyatakan kesiapannya mengusung teknologi EOR tingkat lanjut untuk meningkatkan produksi di Blok Rokan.

Adanya dua kandidat tersebut, membuat pemerintah bersikap ekstra hati-hati dalam menentukan pemenangnya. Harus diakui tidak mudah bagi Kementerian ESDM membuat keputusan yang bisa memuaskan semua pihak. Apalagi suhu politik dalam negeri sedang memanas menjelang Pilpres 2019.

Pemerintah memang berkewajiban menjaga kesinambungan kualitas pengelolaan wilayah kerja Blok Rokan yang mencakup kemampuan teknis, finansial, dan memberikan hasil yang lebih besar bagi negara. Namun, di sisi lain Pertamina juga perlu diberi kesempatan memiliki fondasi yang kuat untuk tumbuh makin besar sehingga diperhitungkan di kancah global.

Segala kemungkinan masih bisa terjadi dalam penentuan KKS Blok Rokan pascaterminasi. Setidaknya sejumlah opsi bisa dipilih, menerima tawaran kontraktor eksis, menyerahkan ke Pertamina, atau membuka kemungkinan pengelolaan bersama antara Chevron dan Pertamina, sebagaimana yang pernah diusulkan oleh Menteri Luhut.

Saran pengamat energi

Pengamat energi Sofyano Zakaria meminta pemerintah menyerahkan pengelolaan Blok Rokan, Provinsi Riau, ke PT Pertamina pascahabis kontrak dengan PT Chevron Pasific Indonesia pada 2021. Pemerintah, lanjutnya, harus membuktikan keperpihakannya kepada kepentingan nasional dengan menyerahkan Blok Rokan ke Pertamina.

"Seperti halnya Blok Mahakam, Kaltim, pemerintah seharusnya ngotot tidak memperpanjang Blok Rokan dan selanjutnya menyerahkan ke BUMN, Pertamina, sebagai wujud memenuhi amanat Pasal 33 UUD 1945," katanya di Jakarta, Senin (30/7).

Menurut dia, Chevron sudah 50 tahun mengelola Blok Rokan atau sejak 1971, sehingga sudah cukup tepat dialihkan ke negara melalui Pertamina. Di samping itu, lanjutnya, Pertamina juga sudah berhasil membuktikan mampu mengelola blok terminasi termasuk West Madura Offshore (WMO), Offshore North West Java (ONWJ) dan Mahakam, dengan baik dan telah memberikan manfaat besar bagi negara.

"Pertamina sudah terbukti dan berpengalaman, jadi sangat layak mengelola Blok Rokan," kata Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) itu.

Sofyano juga mengatakan saat ini produksi minyak dan kondensat Blok Rokan berkontribusi sekitar 25 persen atau sekitar 200 ribu barel per hari dari total produksi minyak nasional sebesar 800 ribu barel per hari. Jika produksi Blok Rokan itu dikelola Pertamina, lanjutnya, maka hasil minyak mentahnya bisa masuk ke kilang milik BUMN migas tersebut, sehingga akan menekan impor minyak mentah, sekaligus meningkatkan devisa negara.

"Artinya, kalau dikelola Pertamina, maka Blok Rokan akan makin meningkatkan ketahanan energi nasional," katanya.

Sofyano juga mengatakan Presiden Joko Widodo sudah berhasil mewujudkan konsep Nawacitanya di sektor migas dengan menyerahkan Blok Mahakam ke Pertamina, membangun infratruktur BBM dan elpiji di seluruh Indonesia, serta mewujudkan BBM Satu Harga demi memberikan keadilan dan menjaga kedaulatan negara.

"Oleh karena itu, konsep Nawacita itu mesti dilanjutkan dengan menyerahkan Blok Rokan ke BUMN," katanya.

Menurut pengamat energi, Komaidi Notonegoro memperkirakan pemerintah bisa menghemat devisa negara hingga 70 miliar dolar AS jika Blok Rokan dikelola PT Pertamina. "Produksi 'crude (minyak mentah) Blok Rokan bisa langsung masuk ke kilang Pertamina sehingga tidak perlu keluar devisa lagi untuk impor crude," kata Komaidi.

Dengan asumsi harga crude 50 dolar AS per barel, penghematan devisa yang diperoleh selama 20 tahun kontrak bisa mencapai lebih dari 70 miliar dolar AS. Menurut Komaidi, dalam memutuskan kelanjutan pengelolaan Blok Rokan, pemerintah harus benar-benar melakukannya secara objektif.

"Saya paham betul soal Blok Rokan ini merupakan kondisi yang cukup sulit bagi pemerintah," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute ini.

Di satu sisi, pemerintah ingin mempertahankan produksi Rokan. Sedangkan, di sisi lain, lanjutnya, ada juga keinginan pemerintah dan publik meningkatkan kapasitas Pertamina.

"Oleh karenanya, jangan diputuskan terburu-buru. Pertimbangkan semua masukan, sehingga diperoleh keputusan terbaik," kata Komaidi.

photo
Profil Kilang Migas Blok Rokan

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement