Selasa 24 Jul 2018 21:20 WIB

Revolusi Mental Tenaga Kesehatan Global

Provinsi Nusa Tenggara Barat masih memiliki prevalensi stunting yang tinggi

Pelatihan yang diperuntukkan bagi para tenaga kesehatan bertajuk Global Health True Leaders (GHTL) 2.0 di Praya, NTB, 16-23 Juli 2018.
Foto: Istimewa
Pelatihan yang diperuntukkan bagi para tenaga kesehatan bertajuk Global Health True Leaders (GHTL) 2.0 di Praya, NTB, 16-23 Juli 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK -- Pelatihan yang diperuntukkan bagi para tenaga kesehatan bertajuk Global Health True Leaders (GHTL) 2.0 digelar di Dmax Hotel and Convention, Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 16-23 Juli 2018. Acara ini telah berlangsung sukses dan sesuai target yang diharapkan.

Event ini memang sengaja memilih tempat di NTB karena mengacu pada tingginya prevalensi stunting dan aspek budaya yang kental di provinsi ini. Event ini pun sukses diselenggarakan INDOHUN (Indonesia One Health University Network) dengan kontribusi dari berbagai universitas dan lembaga-lembaga pemerhati kesehatan dari dalam dan luar negeri.

Pelatihan ini mengedepankan pentingnya kolaborasi seluruh tenaga kesehatan dalam mengatasi permasalahan kesehatan global melalui pendekatan budaya. Pendekatan budaya memerlukan perhatian khusus dalam pengentasan isu kesehatan pada komunitas yang kesehariannya masih kental dengan budaya.

Menurut data World Health Organization (WHO), stunting mencerminkan terjadinya kekurangan gizi kronis selama periode paling kritis pertumbuhan dan perkembangan di awal kehidupan (0-59 bulan). Sehingga pertumbuhan anak menjadi terlalu pendek untuk usianya.

Khusus di Indonesia, stunting masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun, persentase status stunting Indonesia mengalami fluktuasi.

Pada tahun 2007 stunting di Indonesia terdata sebesar 36,8 persen, turun sebesar 1,2 persen pada tahun 2010 (35,6 persen), dan meningkat lagi sebesar 1,6 persen menjadi 37,2 persen pada tahun 2013. Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) pada tahun 2015, menunjukkan bahwa sebesar 29 persen balita di Indonesia mengalami stunting.

Meskipun terjadi penurunan prevalensi stunting dari tinggi (30-39 persen) ke rendah (20-29 persen), prevalensi ini belum cukup memenuhi kriteria WHO mengenai batas maksimum prevalensi stunting untuk kepentingan kesehatan masyarakat, yaitu kurang dari 20 persen.

Berdasarkan studi ilmiah de Onis dan Branca (2016), stunting pada anak adalah indikator kesejahteraan anak-anak dan ketidaksetaraan sosial yang sangat representatif dan akurat. Berdasarkan data dari Kemenkes, stunting di NTB selalu memberikan prevalensi tinggi, dari 36,43 persen pada tahun 2014, dan 34,69 persen pada tahun 2015.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof Drh Wiku Adisasmito MSc, PhD, mengatakan pentingnya revolusi mental pendidikan melalui kolaborasi lintas universitas  dan lintas negara dalam mengatasi isu kesehatan global.

“Permasalahan kesehatan bukanlah isu yang bisa dikotak-kotakkan pada bidang ilmu yang terpisah. Permasalahan kesehatan pada manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan cara mengatasinya memerlukan kolaborasi multidisiplin yang perlu dibiasakan sejak dini dalam proses pendidikan," ungkap Wiku dalam rilisnya, Selasa (24/7).

Lanjut Wiku, tidak bisa dipungkiri bahwa kesehatan hewan juga memengaruhi kesehatan manusia terkait sumber pangan dan interaksi keduanya dalam keseharian. Sehingga penyelesaian masalah kesehatan dengan konsep One Health akan berpotensi memberikan solusi yang lebih komprehensif daripada pendekatan keilmuan yang terkotak-kotak, baik dalam usaha promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, maupun pembiayaan.

Peserta GHTL di NTB meliputi mahasiswa kesehatan serta tenaga dan pemerhati kesehatan muda seperti dokter medis, dokter hewan, perawat, staf LSM, dosen, peneliti, petugas pemerintah, praktisi kesehatan masyarakat yang berasal dari Indonesia dan Filipina. Tidak hanya dibekali teori melalui pelatihan dan diskusi dalam kelas, para peserta juga dipapar langsung dengan keberagaman budaya baik dalam keseharian antar peserta maupun dalam praktik langsung dengan masyarakat.

Pemaparan para peserta dengan keragaman budaya ini bertujuan untk meningkatkan empati mereka pada perbedaan yang pasti akan selalu ada dalam kehidupan. Agar mereka belajar melihat perbedaan budaya sebagai hal yang positif, bukan untuk dinilai lebih baik atau lebih buruk.

Selain pelatihan yang dilakukan di ruang kelas, peserta GHTL mengasah pengetahuan dan keterampilan mereka dalam kondisi nyata di daerah setempat di Lombok, NTB. Peserta berkesempatan untuk melakukan aktivitas kerja lapangan untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang budaya dan menerapkan pengetahuan yang mereka peroleh.

Peserta juga tinggal bersama komunitas lokal untuk memahami dan mengalami budaya lokal secara langsung dalam upaya mengatasi permasalahan kesehatan di dalamnya. Setiap pagi selama masa pelatihan, para peserta mengikuti olahraga pagi bersama dengan personil Polri.

Kegiatan ini dirancang untuk mengembangkan dan membangun gaya hidup sehat terutama untuk calon pemimpin masa depan yang akan disibukkan dengan jadwal yang ketat dan tenggat waktu yang sempit. Sebagai anggota dari masyarakat global, bersosialisasi dan berinteraksi merupakan salah satu cara terbaik untuk meningkatkan produktivitas.

Tidak hanya meningkatkan pemahaman tentang budaya dan perspektif yang berbeda, hal ini berpotensi untuk mengembangkan inovasi dan kreativitas baru untuk mengatasi masalah kesehatan global. Berbagai kegiatan selama 8 hari pelatihan GHTL di NTB ini berhasil menjembatani keberagaman para peserta yang memiliki latarbelakang budaya yang berbeda, yang pada awalnya tidak saling mengenal.

Para peserta GHTL ini menjadi suatu contoh cikal bakal terbentuknya komunitas internasional yang berpotensi menjadi agen perubahan kesehatan  masyarakat global.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement