REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ratusan peserta mengikuti Studium Generale (Kuliah Umum) bertema “Mengatasi Masalah Sosial melalui Socioprenuership” di Auditorium Mandiri, Fisipol, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Ahad (22/7). Kuliah Umum ini merupakan agenda akademik pertama dari program Akademi Kewirausahaan Masyarakat (AKM) yang digagas oleh Creative-Hub Fisipol UGM.
Peserta AKM berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang terpilih melalui tahapan seleksi. Hadir para pemateri kawakan berskala nasional, yaitu Tri Mumpuni (pendiri Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan), Maria Loretha (penggagas pengembangan pertanian tanaman Sorgum di Flores), dan Gamal Albinsaid (pendiri ‘Klinik Asuransi Sampah’ Malang). Bertindak sebagai moderator Pinjung Nawang Sari, dosen Fakultas Pertanian UGM.
Wirausaha sosial menjadi tema bahasan yang selain sejalan dengan tujuan program AKM (Akademi Kewirausahaan Masyarakat), juga sangat relevan dengan kondisi saat ini. Pengangguran terbuka lulusan perguruan tinggi semakin meningkat setiap tahunnya.
AKM adalah program yang memfasilitasi para sarjana yang belum terserap dalam bursa kerja untuk dapat mengambil andil di dalam masyarakat melalui kegiatan kewirausahaan sosial atau yang biasa disebut sociopreneurship. Ketiga pembicara berbagi pengalaman suka-duka dan perjuangan selama proses merintis wirausaha sosial hingga akhirnya dapat bertahan dan diakui hingga sekarang.
Tri Mumpuni menegaskan tentang perlunya dukungan kebijakan-kebijakan dari para pengambil keputusan yang berpihak pada keberlangsungan wirausaha sosial dan usaha kecil masyarakat lainnya. Sementara Maria Loretha mengatakan passion (gairah dan kegemaran) terhadap wirausaha sosial adalah kunci yang harus dimiliki terlebih untuk mampu menggerakan orang lain bergerak bersama.
"Jika passion telah dimiliki maka pelaku wirausaha sosial akan terus-menerus berusaha secara ikhlas tanpa berpikir dan berhitung keuntungan semata," kata Maria.
Sementara Gamal Albinsaid menekankan, pelaku wirausaha sosial harus menjadi social impact (dampak sosial) sebagai target dari usahanya, bukan sekadar tentang personal profit (keuntungan pribadi). Karena itu, alat ukur yang digunakan dalam sociopreneurship sebaiknya adalah social value (nilai sosial) bukan money value (nilai uang).
Ketiga pembicara yang hadir ini membangkitkan antusiasme peserta. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya peserta yang bertanya. Terutama terkait tips-tips dalam membangkitkan partisipasi masyarakat dalam sebuah wirausaha sosial. Antusiasme lebih tinggi ditunjukkan oleh para peserta program AKM. Mengingat setelah pelatihan di kampus UGM ini mereka akan ditugaskan ke lapangan untuk berperan sebagai sarjana pendamping wirausaha sosial berbasis pedesaan di seluruh wilayah Indonesia.