Kamis 19 Jul 2018 04:00 WIB

Pengamat: Gerindra Bunuh Diri Jika tak Calonkan Prabowo

Pengamat menilai Gerindra akan rugi jika Prabowo hanya menjadi king maker

Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin
Foto: bawaslu.go.id
Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Said Salahudin menilai, pencalonan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pilpres 2019 tidak akan berubah. Menurutnya Gerindra melakukan tindakan "bunuh diri" bila nekat mengistirahatkan Prabowo.

"Kecuali, misalnya, tokoh eksternal yang hendak dijadikan sebagai pengganti Prabowo sebagai capres, dipersyaratkan untuk terlebih dahulu menjadi anggota Gerindra karena di internal Gerindra belum ada tokoh lain yang potensial menjadi capres, selain Prabowo," kata Said, di Jakarta, Rabu (19/7).

Tetapi, Said melanjutkan, Gerindra juga perlu berhitung jika ingin menggantikan Prabowo dengan tokoh yang lain. Said mengatakan, jika kalkulasi Gerindra sampai meleset, yang terjadi bukan tidak mungkin persentase suara Prabowo di pilpres sebelumnya malah turun dan koalisi Gerindra bisa kalah.

Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) ini menilai, jika Prabowo hanya menjadi 'king maker' dan menyerahkan posisi capres kepada tokoh dari parpol lain atau tokoh dari nonparpol, maka Gerindra jelas akan sangat merugi. "Presidential effect untuk mendapatkan dan memperbanyak perolehan suara pileg dan kursi di legislatif tidak akan tercapai," katanya.     

Jika parpol hanya menjadi pengusung dan tidak mendapatkan jatah capres atau cawapres, maka tentu saja mereka akan kehilangan kesempatan untuk lebih banyak meraup suara pileg dan mendudukan wakil-wakilnya di lembaga DPR dan DPRD. Ia menyebutkan dalam pemilu yang menyatukan pemilihan anggota legislatif (pileg) dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (pilpres), pemilih cenderung memberikan perhatian lebih pada pertarungan pilpres yang menentukan pucuk pimpinan eksekutif nasional, ketimbang pileg.

Sehingga, tambah dia, dalam praktik memilih, masyarakat sebagai pemilik suara memiliki kecenderungan untuk mencoblos partai politik yang mengusung capres-cawapres pilihan mereka. Lebih spesifik lagi, parpol yang kadernya menjadi capres atau cawapres-lah yang akan cenderung dicoblos oleh pemilih. Oleh sebab itu, kata Said, tidak mengherankan jika dalam pembentukan koalisi parpol sekarang ini setiap partai politik berusaha keras memasukkan kadernya sebagai capres atau cawapres.

"Sebab, dengan menempatkan tokohnya sebagai capres atau cawapres, parpol berharap dapat memetik manfaat elektoral dari perilaku pemilih untuk memperbanyak perolehan suara pileg dan kursi di legislatif," kata Said Salahudin.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement