Senin 02 Jul 2018 19:23 WIB

Tiga Penyebab Munculnya Paslon Tunggal Versi Peneliti LIPI

Fenomena calon tunggal lawan kolom kosong tidak sehat bagi politik di Indonesia.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Andri Saubani
Pengamat politik dari LIPI, Syamsudin Haris
Pengamat politik dari LIPI, Syamsudin Haris

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Senior LIPI sekaligus Dewan Pengawas Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Syamsuddin Harris menilai, ada tiga faktor penyebab munculnya fenomena pasangan calon (paslon) tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018. Salah satunya, regulasi yang membatasi munculnya pasangan calon kepala daerah.

Syamsuddin merekomendasikan pembenahan kembali atas Undang-undang Pilkada. Salah satunya untuk poin terkait persyaratan pengajuan pasangan calon yang saat ini membutuhkan 20 persen kursi dari partai politik pendukung dan pengusung.

"Itu hal sulit. Untuk calon independen-pun jauh lebih sulit karena harus memiliki syarat dukungan 6,5 sampai 10 persen DPT (Daftar Pemilih Tetap)," tuturnya dalam diskusi media Evaluasi Pilkada Serentak 2018 di Senayan, Jakarta Pusat Senin (2/7).

Faktor penyebab kedua adalah semakin mahalnya mahar politik dalam pilkada. Syamsuddin memberikan contoh kasus La Nyalla Mahamud Mattalitti yang gagal maju sebagai gubernur Jawa Timur karena diminta mahar Rp 10 miliar.

Dedi Mulyadi yang masuk ke Pilkada Jabar pun dikabarkan ‘ditagih’ jumlah sama. Meskipun, ia sudah memiliki jabatan di DPD Golkar setempat.

Syamsuddin menilai, permintaan mahar yang semakin mahal merupakan sebuah tindakan konyol. Dampaknya, tidak sedikit kader partai yang kian enggan maju ke kontestasi pilkada. Fenonema ini sekaligus mengindikasikan bahwa biaya perahu atau pengusungan begitu mahal.

Faktor penyebab lainnya yakni kegagalan kaderisasi partai politik yang seharusnya menjadi basis seleksi pejabat publik. Tapi, fungsi ini tidak terjadi. "Parpol cenderung hanya menunggu siapa yang datang membawa kantong berisi uang, sehingga Pilkada dipandang sebagai panen lima tahunan," ucap Syamsuddin.

Tiga faktor ini berdampak pada dua hal yang lain. Pertama, munculnya oligarki pencalonan dalam proses kaderisasi sebagaimana yang terlihat di Pilkada Kota Makassar. Menurut Syamsuddin, tidak ada kesempatan bagi tokoh yang layak atau dianggap mampu dan berniat maju untuk bersaing.

Hal berikutnya, fenomena calon tunggal di pilkada bukanlah sesuatu yang sehat bagi demokrasi Indonesia. Apabila dibiarkan terus menerus, sistem demokrasi harus kembali dipertanyakan.

"Oleh karena itu, regulasi pilkada urgent dipertimbangkan sebelum pilkada lagi pada 2020 dan pilkada yang serentak dengan pilpres pada 2024," ujar Syamsuddin.

Salah satu solusi yang ditawarkan Syamsuddin terkait regulasi adalah menetapkan batas maksimal bagi paslon dan mengubah indikator. Basis yang digunakan bukan berasal dari pemilu DPR melainkan jumlah partai. Misal, yang mengajukan paslon A dan B bolehnya dua sampai tiga partai. Upaya ini memungkinkan munculnya paslon-paslon lain.

photo
Paslon Tunggal Lawan Kolom Kosong

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement