Sabtu 16 Jun 2018 18:25 WIB

Jimly: Uji Materi PT Perlu Diputus Sebelum Daftar Capres

Jika tidak segera diputuskan, hasil uji materi dikhawatirkan ganggu tahapan pemilu

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Ratna Puspita
Jimly Asshidiqie
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Jimly Asshidiqie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie, menilai uji materi tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) sebaiknya diputuskan sebelum masa pendaftaran calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) Pemilu 2019. KPU akan membuka masa pendaftaran capres-cawapres pada Agustus mendatang.

Menurut Jimly, jika tidak segera diputuskan, hasil uji materi tersebut dikhawatirkan akan menganggu tahapan pemilu. Ia menambahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) bisa menerima atau menolak pengajuan uji materi ambang batas pencalonan presiden yang kembali diajukan. 

Jika pengajuan diterima maka akan ada perubahan terhadap ambang batas pencalonan presiden yang saat ini digunakan. Karena itu, perubahan sebaiknya terjadi sebelum pendaftaran. 

“Karena jika ada perubahan sesudah pendaftaran capres-cawapres, dan seterusnya, itu sudah tidak bisa dipecah-pecah, jadi (tahapan pemilu) tidak bisa diganggu," ujar Jimly ketika dijumpai wartawan di kediaman Oesman Sapta Odang, di Karangasem, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (16/6).

Kendati demikian, Jimly tetap menyarankan perubahan terhadap ambang batas pencalonan presiden sebaiknya diterapkan pada pemilu berikutnya. "Kalau diterapkan untuk pemilu saat ini (pemilu 2019) bisa kacau. Waktunya sudah sangat dekat," lanjutnya.

Dia juga menilai sah-sah saja ambang batas pencalonan capres digugat kembali ke MK. Asalkan, ada argumen hukum yang sebelumnya belum dipertimbangkan. "Kalau argumen mengulang yang ada, itu percuma,” kata dia. 

Jimly pun menerangkan argumen yang berbeda tersebut seperti pasal yang digunakan di UUD 1945 harus berbeda dengan gugatan-gugatan sebelumnya. “Argumen yang digunakan baru sama sekali, maka bisa aja (ada peluang dikabulkan oleh MK)," kata Jimly.

Tahapan pencalonan capres-cawapres dimulai pada 4 Agustus dan berakhir pada 10 Agustus mendatang. Penetapan capres-cawapres resmi Pemilu 2019 dilakukan pada 20 September.

Aturan mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ini kembali digugat ke MK. UU Pemilu mensyaratkan partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2014 guna mengusung pasangan calon presiden.

Permohonan uji materi atas pasal 222 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu ini diajukan oleh 12 orang dari berbagai kalangan. Para penggugat merupakan tokoh-tokoh dari berbagai bidang.

Mereka adalah Busyro Muqoddas (mantan wakil ketua KPK dan ketua Komisi Yudisial), M Chatib Basri (mantan menteri keuangan, Faisal Basri (akademisi), Hadar Nafis Gumay (mantan komisioner KPU), Bambang Widjojanto (mantan wakil ketua KPK), dan Rocky Gerung (akademisi). 

Ada pula Robertus Robet (akademisi), Feri Amsari (direktur Pusako Universitas Andalas), Angga Dwimas Sasongko (profesional/sutradara film), Dahnil Anzar Simanjuntak (ketua PP Pemuda Muhammadiyah), Titi Anggraini (direktur Perludem), dan Hasan Yahya (profesional).

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana melalui Indrayana Centre for Government, Constitution and Society (Integrity), menjadi kuasa hukum untuk permohonan uji materi tersebut. Pendaftaran gugatan dilakukan pada Rabu (13/6) lalu. "Kami meminta MK dapat segera memutuskan permohonan ini sebelum masa pendaftaran capres berakhir pada 10 Agustus 2018 yang akan datang," kata Denny dalam keterangan pers yang diterima, Rabu.

Denny menjelaskan, syarat ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen telah mendegradasi kadar pemilihan langsung oleh rakyat yang telah ditegaskan dalam Undang-undang Dasar 1945. Syarat yang diadopsi dalam pasal 222 UU Pemilu itu menyebabkan rakyat tidak bebas memilih karena pilihannya menjadi terbatas.

Syarat tersebut pun harus kembali diujimaterikan ke MK karena telah nyata bertentangan dengan UU Dasar 1945. Meski telah diuji sebelumnya, papar Denny, tapi berdasarkan Peraturan MK, pasal 222 UU Pemilu dapat diajukan kembali ke MK.

"Inilah perjuangan konstitusional untuk mengembalikan daulat rakyat dan mengembalikan kebebasan rakyat untuk secara lebih bebas memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement