Ahad 10 Jun 2018 06:23 WIB

Masuk Anggota DK PBB, Indonesia Harus Selesaikan Masalah HAM

Kontras sebut Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah, khususnya di bidang HAM

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Bilal Ramadhan
Indonesia Resmi Jadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB
Foto: Twitter
Indonesia Resmi Jadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB atau United Nations Security Council (UNSC) Non-Permanent Member pada Jumat (8/6) lalu. Kelompok HAM di Indonesia berharap dengan status tersebut akan membantu menyelesaikan berbagai permasalaan HAM di Indonesia.

Pelaksana Desk Advokasi Internasional Kontras, Fatia Maulidiyanti mengatakan, ditinjau dari konstelasi politik internasional dan secara prosedural, Indonesia memang memenuhi syarat dan lebih diunggulkan untuk menjadi anggota tidak tetap DK PBB. Namun, modal konstelasi politik global dan prosedural yang dimiliki Indonesia tidak berbanding lurus dengan kondisi faktual yang terjadi di dalam negeri.

"Karena sebetulnya pemerintah Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi terlebih dahulu, khususnya dalam bidang HAM. Hal ini harusnya menjadi rujukan sekaligus uji keyalakan bagi Indonesia untuk terpilih sebagai anggota tidak tetap DK PBB," ujar Fatia mewakili kelompok HAM lainnya, dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (9/6).

Satu permasalahan yang belum pernah bisa diselesaikan oleh pemerintah Indonesia adalah terkait pelanggaran HAM berat masa lalu. Padahal, komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sudah terurai pada Nawacita yang merupakan dokumen visi misi Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Namun, Fatia menilai komitmen tersebut ternyata terpatahkan, hal ini ditunjukkan dari distribusi kekuatan politik hari ini. Di mana Presiden Joko Widodo memilih beberapa terduga pelanggaran HAM masa lalu seperti Wiranto untuk menempati posisi strategis dalam pemerintahan.

Hal lain ditunjukkan dari pernyataan Jaksa Agung, H. M. Prasetyo, pada 1 Juni 2018 (sehari setelah Presiden memerintahkan Jaksa Agung berkoordinasi dengan Komnas HAM terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu), yang bersikukuh mengatakan bahwa kasus pelanggaran HAM masa lalu ini sulit diselesaikan secara yudisial. Solusi kilat yang ditawarkan oleh Wiranto, yakni Dewan Kerukunan Nasional (DKN) pun tidak memenuhi standar UU Pengadilan HAM No. 26/2000.

Selain itu, Indonesia masih enggan untuk meratifikasi Statuta Roma pun juga perlu menjadi catatan tersendiri bagi UNGA bahwa 20 tahun semenjak Reformasi, problematika domestik Indonesia tidak beranjak dari isu HAM. Fatia melanjutkan, situasi lain yang perlu dijadikan bahan pertimbangan adalah terkait praktik hukuman mati di Indonesia.

Dalam dua tahun pertama rezim Presiden Joko Widodo, tercatat 18 eksekusi mati telah dilakukan. Ironisnya, pemerintah hari ini menganggap angka ini sebagai sebuah pencapaian.

Pada 2017-2018, Indonesia menahan eksekusi terhadap terpidana mati. Namun sesuai dengan pernyataan Jaksa Agung di Rapat Kerja Komisi III dan Jaksa Agung RI pada Maret 2018, yang menyatakan bahwa upaya Indonesia untuk menjadi anggota tidak tetap DK PBB memengaruhi tatanan hukum Indonesia yang masih menganut hukuman mati.

Hal ini menunjukkan bahwa eksekusi mati di Indonesia yang terhenti selama 2017-2018 dilatarbelakangi oleh alasan yang sangat politis, dan bukan karena argumentasi yang konstruktif. Pekerjaan rumah lain yang harus perlu digarisbawahi adalah banyaknya kasus unfair trial di Indonesia.

"Mulai dari kasus Yusman Telaumbanua, Christian, warga negara asing seperti Rodrigo Gularte, dan kasus-kasus lainnya yang terlalu banyak untuk dipaparkan. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa criminal justice system di Indonesia, dari hulu sampai hilirnya masih carut marut," jelas Fatia.

Selain itu, menyikapi isu terorisme yang tengah menguat saat ini di tingkat nasional dan internasional, pemerintah Indonesia menegaskan bahwa dalam pemberantasan terorisme Indonesia selalu memperhatikan prinsip HAM dan rule of law yang sesuai dengan hukum nasional dan kewajiban hukum internasional. Namun, pada praktiknya masih banyak sekali kasus-kasus penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang mengakibatkan penyiksaan dan kematian kepada para terduga teroris yang dilakukan oleh Densus 88.

Terlebih lagi, Indonesia baru saja mengesahkan UU Anti Terorisme baru yang dapat memberikan kewenangan kepada TNI untuk ikut aktif berpartisipasi dalam memberantas terorisme. Catatan penting lain yaitu terkait kebijakan HAM luar negeri Indonesia dalam menjaga perdamaian di level internasional.

Di dalam rules of procedure General Assembly of the United Nations Bab XV Pasal 143 tentang Kualifikasi Keanggotaan (anggota tidak tetap DK PBB), menyebutkan salah satunya bahwa calon anggota DK PBB harus memerhatikan kontribusinya dalam rangka menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Melalui pernyataan Menteri Luar Negeri, Indonesia memang berdalih bahwa Indonesia menghuni peringkat 9 dari total 125 negara yang menjadi penyumbang tentara terbanyak untuk berbagai Misi Kemanusiaan PBB.

Namun, hal ini tidak berbanding lurus dengan sikap Indonesia yang ditunjukkan dalam voting di UNGA terkait kasus-kasus pelanggaran HAM di negara-negara yang dilanda konflik, seperti Suriah, Palestina, dan juga kasus Rohingya di Myanmar. Voting Indonesia untuk Suriah banyak diisi dengan suara abstain, kecuali di tahun 2017, yang mana suasananya sangat politis jika kita menaruh situasi ini dalam konteks Indonesia yang tengah berusaha menjadi anggota DK PBB.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement