Jumat 08 Jun 2018 16:47 WIB

Yudi Latif Mundur,Tafsir Pancasila Mana yang Sedang Berkuasa

Setahun BPIP berdiri isu yang terdengar cuma soal gaji, bukan gagasan atau visi

Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Yudi Latif (kiri) bersama para dewan pengarah yaitu (kiri ke kanan) Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, Said Aqil Siradj, Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, Ma'ruf Amin, Megawati Soekarnoputri, Mantan Ketua MK Mahfud MD, Andreas Anangguru Yewangoe, Sudhamek, dan Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif berfoto bersama usai pelantikan UKP-PIP di Istana Negara, Jakarta, Rabu (7/6).
Foto:
Ketua Dewan Pengarah BPIP, Megawati Soekarnoputri, saat menghadiri peringatan HUT Pancasila ke-73 di Museum Filateli, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Kamis (31/5). Megawati mengungkapkan Presiden Jokowi sempat meminta maaf atas polemik tingginya gaji pengurus BPIP.

                                                                 ******

Inilah hukum besi dunia gagasan. Ideologi, agama, paham, apapun dunia gagasan yang sudah banyak pengikutnya akan terjadi spektrum pemahaman. Akan terjadi perselisihan tafsir mulai dari yang paling kiri hingga paling kanan.

Jika sebuah kekuasaan akan mengambil paham itu sebagai dasar kebijakannya, tafsir yang mana yang akan ia pakai? Mengapa tafsir itu?

Untuk agama, seperti Islam, misalnya. Walau kitab suci Alquran itu satu, tapi ada tafsir Wahabisme yang konservatif di kanan, dan tafsir Progresive Muslim yang liberal di kiri. Untuk Marxisme, ada tafsir Lenin dan Stalin yang menjadikannya negara komunis di sebelah kanan. Tapi ada pula tafsir Frankfurt School yang menjadikan Marxisme paham humanis di sebelah kiri.

Dalam praktiknya, Pancasilapun sudah punya jejak tafsirnya di era Bung Karno dan Pak Harto. Dua orde ini dalam slogan sama sama menjadikan Pancasila dasar negara. Pancasila memberi arah keseluruhan bangunan dan kelembagaan politik dan ekonomi.

Tapi apa yang terjadi? Di era Bung Karno, in action, Pancasila menjadi dasar dari Orde yang disebut Demokrasi Terpimpin. Di era ini, bahkan Bung Karno pernah diangkat menjadi presiden seumur hidup. Di era ini, bahkan Bung Karno pernah membubarkan DPR.

Kala Bung Karno berkuasa, bangunan itu dipahami oleh elit berkuasa sebagai pengejawantahan Pancasila. Ketika Bung Karno tumbang, lahir elit baru yang memberikan narasi baru. Bung Karno dipahami secara terbaik: Ia menghianati prinsip Pancasila.

Pak Harto berkuasa juga menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Di era itu, orde Demokrasi Terpimpin berubah menjadi Demokrasi Pancasila.

Dalam Demokrasi Pancasila, ada dua fungis ABRI: militer punya peran politik. Partai dibatasi hanya tiga saja. Tak semua perwakilan rakyat (MPR) dipilih. Ada pula yang diangkat dalam praktiknya atas persetujuan presiden, yaitu Utusan Golongan.

Di era itu, praktik yang dilakukan pak Harto dipuji sebagai pelaksanaan Pancasila yang murni dan konsekwen. Tapi ketika Suharto dijatuhkan, muncul elit baru dengan narasi baru. Suharto mengalami apa yang dialami Bung Karno: dipuja di eranya sebagai pelaksana Pancasila. Lalu berubah sebagai penghianat Pancasila oleh musuh politiknya.

                                                            

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement