Kamis 07 Jun 2018 19:45 WIB

Cegah Radikalisme, Kemeristekdikti Pantau Medsos Mahasiswa

Menristek mengatakan medsos perlu mendapatkan pengawasan khusus.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Bayu Hermawan
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi akan bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menelusuri penyebaran paham radikalisme melalui media sosial (medsos), terutama di tingkat mahasiswa. Nasir mengatakan, medsos menjadi pembelajaran yang paling mudah di era digital oleh karena itu perlu mendapatkan pengawasan khusus.

"Kerja sama (dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika kami lakukan untuk melihat bagaimana jejak penelusuran, profiling media sosial itu," ujar Nasir di Hotel Bidakara, Kamis (7/6).

Adapun jika di media sosial ada indikasi paham radikal, maka pemerintah akan memanggil pihak yang bersangkutan untuk ditelusuri lebih lanjut. Sebelumnya, Nasir telah meminta kepada rektor untuk mulai mendata nomor telepon seluler dan akun media sosial mahasiswa sejak penerimaan mahasiswa baru. Dia pun menegaskan, pendataan tersebut diberlakukan untuk semua kampus tanpa terkecuali.

Menurut Nasir, hal itu bertujuan sebagai bentuk monitoring, menyusul adanya indikasi radikalisme di kampus. Pendataan tersebut juga diklaim akan mempermudah monitoring yang dilakukan oleh Kemenristekdikti bersama BNPT dan BIN.

Nasir mengatakan, pendataan melalui nomor HP dan akun medsos dilatarbelakangi oleh kasus di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Dimana, ada beberapa mahasiswa di PTN tersebut telah terpapar radikalisme karena terpengaruh media sosial.

Selain itu, Nasir juga mengaku, telah menginstruksikan kepada rektor untuk mendata seluruh pegawai, dosen dan mahasiswa di suatu perguruan tinggi yang terindikasi radikalisme. Setelah data terkumpul, lanjut Nasir, rektor ditugaskan untuk mengembalikan ideologi mereka.

Nasir mengatakan, apabila ada mahasiswa maupun dosen yang terbukti berafiliasi dengan organisasi berpaham radikal maka akan diserahkan kepada rektor masing-masing kampus untuk ditindaklanjuti. Nasir menegaskan, jika rektor tidak bisa menyelesaikan persoalan tersebut maka Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi akan memanggil rektor yang bersangkutan.

"Rektor harus bertanggung jawab, ya dia menyelesaikan. Kalau (rektor tidak bisa menyelesaikan) maka rektornya yang saya selesaikan," ujar Nasir.

Baca juga: APTISI: Kemristekdikti akan Kewalahan Awasi HP Mahasiswa

Menanggapi rencana tersebut, Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko menilai, langkah pemerintah melakukan pengawasan dan pendataan terhadap nomor telepon seluler dan media sosial (medsos) milik dosen serta mahasiswa sangat berlebihan. Menurut dia, hal tersebut justru akan mengganggu suasana akademik.

Budi menilai, wacana tersebut justru akan sangat merepotkan karena terdapat sekitar 7,5 juta mahasiswa dan sekitar 300 ribu dosen serta 200 ribu tenaga nonpendidik. Dengan demikian, total civitas academica mencapai hingga 8 juta.

"Dan misalnya saja yang tertangkap kasus teroris ada 100 mahasiswa, walaupun hanya dua orang, itu pun alumni Universitas Riau maka dari civitas academica kampus hanya 0, 0000125. Artinya, tidak ada 0,1 persen pun. Karena pelakunya adalah alumni maka tambah repot lagi karena alumni PT di Indonesia diperkirakan 40 juta alumni," kata Budi dari siaran pers, Rabu (6/6).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement