Ahad 03 Jun 2018 07:55 WIB

KPK tak Dapat Penuhi Permintaan Pemerintah-DPR di RKUHP

Permintaan itu terkait rumusan tindak pidana korupsi dalam bentuk pidana pokok.

Ketua KPK - Agus Rahardjo
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ketua KPK - Agus Rahardjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK tidak dapat memenuhi permintaan pemerintah dan DPR dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP. Permintaan itu terkait rumusan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam bentuk pidana pokok (core crime).

Hal itu sudah disampaikan KPK melalui surat tertanggal 4 Januari 2017 kepada Presiden Joko Widodo dengan menyampaikan sejumlah alasan. "Setelah dilakukan kajian lebih mendalam, kami berada pada satu kesimpulan bahwa KPK tidak dapat memenuhi permintaan pemerintah dan DPR,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo dalam surat yang diperlihatkan di Jakarta pada Ahad (3/6).

Agus menjelaskan penolakan itu lantaran adanya kepentingan bangsa yang lebih besar dan keberpihakan pada kemaslahatan rakyat Indonesia. Terutama, dia menyebutkan, kemaslahatan tersebut dalam melakukan pemberantasan korupsi. 

Menurut KPK, tidak semua UU khusus yang berada di luar KUHP harus diintegrasikan dalam proyek kodifikasi. Apalagi, karakter kekhususannya terletak pada kebutuhan untuk beradaptasi atau merespons kejahatan yang perekmbangan modus, struktur dan jaringannya semakin kompleks dan cepat berubah.

"KPK meyakini, tipikor yang diintegrasikan dalam skema kodifikasi dalam RUU KUHP akan menghilangkan kekhususan yang telah diatur dalam Tipikor dan melebur dalam tindak pidana umum (tipidum)," kata Agus.

KPK pun mencantumkan setidaknya 10 karakteristik menonjol tipikor yang berbeda dengan tindak pidana lainnya, yaitu:

  1. tipikor dirumsukan secara formal dan bukan materiil sehingga pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadap terdakwa dan hanya sebagai faktor meringankan, 
  2. dicantumkannya pengaturan korporasi sebagai subjek hukum,
  3. pengaturan pembuktian terbalik terbatas atau berimbangan (balanced burder of proof), 
  4. adanya pengaturan ancaman pidana minimum dan maksimum, 
  5. terdapat pidana mati sebagai unsur pemberatan, 
  6. adanya pengaturan penyidikan gabungan perkara tipikor yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi Jaksa Agung.
  7. dicantumkannnya pengaturan tentang penyidikan ke dalam rahasia bank yang lebih luas diawali dengan pembekuan rekening tersangka/terdakwa dilanjutkan penyitaan, 
  8. adanya pengaturan peran masyarakat sebagai kontrol sosial dengan disebutkannya perlindungan hukum sebagai saksi pelapor,  
  9. memuat ketentuan mengenai pegwai negeri yang lebih luas dibanding peraturan lain, dan 
  10. memuat pidana tambahan yang lebih luas dibanding dalam KUHP.

Agus mengatakan keinginan pemerintah dan DPR melakukan kodifikasi terhadap ketentuan pidana di luar KUHP dan disatukan dalam RUU KUHP merujuk pada UU hukum pidana Belanda. Akan tetapi, dia mempertanyakan, apakah pernah pemerintah dan DPR membandingkan kondisi korupsi yang terjadi di Indonesia dengan kondisi korupsi di Belanda? 

“Tentu tidak, korupsi di Belanda tidaklah bersifat masif seperti di Indonesia," tambah Agus.

Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Belanda adalah 87 sedangkan Indonesia baru 36 dengan rentang 0-100. 0 dipersepsikan sangat korup dan 100 sangat bersih.

Apalagi saat ini di dunia, setidaknya ada 30 negara yang telah mengatur khusus pembentukan lembaga antikorupsinya dalam konstitusi. Karena itu, menurut KPK, tipikor dimasukkan dalam buku II RUU KUHP telah bertentangan dengan politik hukum, perkembangan kondisi, serta kebutuhan bangsa dan negara saat ini.

Ia menerangkan memasukkan tipikor dalam kodifikasi akan menghilangkan determinasinya dan juga sifat kekhususannya. Politik kriminal dan cara-cara khusus dibutuhkan untuk menghadapi modus, struktur, dan jaringan kejahatan tindak pidana khusus yang sangat kompleks dan cepat berubah.

“Hal itu akan tenggelam dalam keumuman kodifikasi KUHP," kata Agus.

Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, tidak sulit mencabut rumusan Bab XXXIII mengenai tipikor dalam RUUU KUHP. Dengan demikian, tipikor tetap berada dalam UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

"Tidak sulit bagi Presiden dan DPR untuk mengeluarkan pasal-pasal tipikor dari RUU KUHP tersebut, selanjutnya dapat dibahas lebih lanjut melalui penyusunan revisi UU No 31 tahun 1999 yang sekarang sedang berlaku," kata Febri.

Sebelumnya, Ketua DPR Bambang Soesatyo berjanji institusinya segera menyelesaikan RUU KUHP menjadi UU dan akan menjadi kado Hari Ulang Tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2018.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement