Kamis 31 May 2018 07:10 WIB

Mudzakkir: Kasus Alfan Tanjung Jadi Evaluasi Penegakan Hukum

Para hakim harus bersikap obyektif dan brtangungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Alfian Tanjung (kiri memegang mikropon) dalam sebuah persidangan.
Foto: Republika/Dadang Kurnia
Alfian Tanjung (kiri memegang mikropon) dalam sebuah persidangan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum pidana, Mudzakkir, mengatakan, adanya putusan terhadap Alfian Tanjung atas kasus ujaran kebencian harus menjadi bahan evaluasi terhadap kinerja para penegak hukum. Sebab, bila benar putusan itu bebas, apa yang dituduhkan jaksa kepadanya menjadi hal yang tidak terbukti secara hukum.

‘’Saya belum baca putusannya. Dari media saya baca putusan itu terhadap Alfian Tanjung bebas. Kalau ini benar terjadi maka dakwaan pelanggaran hukum dari jaksa kepadanya menjadi tidak terbukti,’’ kata Mudzakkir kepada Republika.co.id, Kamis (31/5).

Menurut Mudzakkir, adanya putusan bebas itu menjadi janggal bila kemudian polisi mengajukan tindakan hukum yang lain, misalnya, banding atau kasasi. Apalagi polisi bukan menjadi pihak yang bersengketa di pengadilan karena yang menjadi pihak itu adalah jaksa.

‘’Putusan bebas berkonsekeunsi menjadi tidak bijaksana bila polisi mengajukan tindakan hukum lain. Polisi tidak punya hak hukum itu karena bukan pihak yang beperkara. Yang punya hak itu dalam putusan ini adalah jaksa,’’’ katanya menegaskan.

Memang, lanjut Mudzakir, putusan bebas terjadi karena salah satu unsur pasal di dalam dakwaan jaksa tidak terbukti. Dengan demikian, seharusnya tidak ada upaya hukum lain setelah adanya putusan hakim tersebut.

’’Jadi, adanya putusan bebas adalah karena jaksa gagal membuktikan adanya pelanggaran hukum dari terdakwa. Jadi, jaksa sebaiknya menghormati hak terdakwa. Apalagi jaksa pada sisi yang lain juga punya hak menuntut bebas bila dia merasa apa yang dituduhkannya dalam sebuah perkara dirasa tidak terbukti. Sikap ini juga menjadi pertanda terhadap penghormatan kepada hukum, yakni putusan hakim,’’  katanya.

Menyinggung mengenai tuduhan ujaran kebencian Alfian Tanjung yang dikutip dari sebuah buku, Mudzakkir mengatakan, seharusnya dia tidak dimintai pertanggungjawaban pidana atau konsekuensi hukum. Sebab, selain tindakan mengutip pendapat adalah hal yang biasa dalam dunia ilmiah, seharusnya yang dituntut bertanggung jawab adalah pihak yang menulis atau menjadi sumbernya. Maka, bila ada yang salah, beban tanggung jawab hukumnya itu ada pada pihak yang menulisnya, bukan pihak yang mengutipnya.

Dikatakan Mudzakkir, ada putusan ini juga hendaknya bisa menjadi hikmah untuk melakukan evaluasi secara total terkait UU ITE dan aturan hukum yang dikualifikasi sebagai ujaran kebencian lainnya. Ini karena dalam praktik banyak putusan hakim yang menyatakan bebas. ‘’Artinya banyaknya putusan bebas dalam kasus yang terkait UU ITE dan ujaran kebencian, banyak diduga terjadi kekeliruan dalam menerapkan hukum pidana oleh penyidik. Sikap ini penting agar penegakan hukum tidak dijadikan sebagai ’alat’.’’

Dengan demikian, ungkap Mudzakkir, para hakim ke depan harus dituntut mampu bertindak lebih cermat lagi dalam menegakkan hukum dan keadilan. Mereka harus benar-benar bisa menghayati bahwa hakim harus bersikap objektif dan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sebelumnya, pengacara kondang sekaligus Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bersyukur Alfian Tanjung akhirnya dibebaskan oleh majelis hakim Pengadilan Jakarta Pusat. Ia mengatakan, putusan majelis hakim membuktikan bahwa apa yang dilakukan oleh Alfian bukanlah tindak pidana.

Yusril menjelaskan, majelis hakim menilai Alfian hanya menyalin tulisan politisi PDIP Dr Ribka Tjiptaning dalam buku berjudul Aku Bangga Jadi Anak PKI yang mengatakan bahwa 85 persen PDIP isinya adalah kader PKI. Tulisan dalam buku Dr Ribka tidak pernah dibantah oleh pimpinan PDIP.

Yusril menambahkan, buku itu beredar bebas dan telah dicetak sekitar 2 juta eksemplar. Namun, hal yang aneh, menurut Yusril, Sekjen PDIP yang dihadirkan sebagai saksi di persidangan mengatakan tidak tahu tentang buku Ribka Tjiptaning tersebut.

"Dengan demikian apa yang dikutip Alfian tidaklah termasuk ujaran kebencian sebagaimana dimaksud oleh Pasal 29 ayat 2 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Maka demi keadilan, Alfian harus dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum," kata Yusril, dalam keterangan tertulis, Rabu (30/5).

Terkait hal itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen M Iqbal telah pula merespons putusan bebas untuk Alfian Tanjung yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia menuturkan, vonis bebas untuk Alfian Tanjung tak berarti ada percobaan kriminalisasi terhadap ulama.

Iqbal mengatakan, kepolisian dan jaksa melakukan penegakan hukum terkait kasus unggahan di Twitter "PDIP 85% isinya kader PKI" sesuai prosedur yang berlaku. “Tak ada (kriminalisasi ulama). Terminologi itu sangat tidak tepat," ujar Iqbal di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (30/5).

Kepolisian mengusut kasus tersebut sesuai dengan prosedur. Dalam proses penyelidikan dan penyidikan, kepolisian sudah melakukannya sesuai dengan tahapan yang ada.

Dalam cuitannya di Twitter, Alfian menuliskan, "PDIP yang 85% isinya kader PKI."  Akibatnya, Alfian didakwa ke pengadilan dengan tuduhan melakukan fitnah dan pencemaran nama baik terhadap PDIP.

Alfian didakwa melanggar pasal 310 dan pasal 311 KUHP jo Pasal 27 dan 28 UU ITE, yakni melakukan pencemaran nama baik dengan menggunakan media elektronik. Namun, kemudian majelis hakim memutuskan lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement