Rabu 23 May 2018 02:17 WIB

TNI dan Polri Lawan Teroris, Siapa Pegang Tongkat Komando?

Jika teroris sudah pakai alat perang seperti bom, TNI bisa ambil kendali.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Teguh Firmansyah
Menhan Ryamizard Ryacudu bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
Foto: Republika/Prayogi
Menhan Ryamizard Ryacudu bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyebutkan, jika TNI-Polri bekerja sama dalam menanggulangi terorisme, pemegang tongkat komando tergantung situasi dan kondisi yang ada. Bergabungnya TNI dirasa diperlukan dalam menanggunangi terorisme.

"Tergantung, kalau semuanya tentara ya tentara. Tapi kalau semua polisi ya polisi," jelas Ryamizard di GOR Kartika Divif I Kostrad, Cilodong, Depok, Selasa (22/5).

Ia menambahkan, jika keduanya dalam kondisi bekerja sama dalam melawan teroris, maka ada hal-hal yang perlu dilihat terlebih dahulu. Jika masih lebih berat pada pelanggaran hukum, polisi yang memegang komando. Namun, jika teroris itu sudah menggunakan alat perang seperti bom, maka harus tentara yang memegang kendali.

"Lihat di Amerika berapa belas tahun lalu begitu. Polisi tidak mampu, disiapkan tentara. Begitu itu selesai, kita serahkan ke polisi. Kita kerja sama dengan baik," jelasnya.

Menurutnya, harus jelas mana serangan yang dapat ditangani oleh polisi dan mana serangan yang dapat ditangani oleh TNI. Pun demikian harus jelas pula mana serangan yang dapat ditangani oleh keduanya secara bersama-sama.

"Kalau saya, yang ini banyak semua polisi, TNI tidak ada. Kalau polisi tidak ada, ya TNI semua. Tapi tengah-tengah polisi dan TNI sama-sama," kata dia.

Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mendukung pembentukan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) yang melibatkan TNI untuk memberantas teroris. Tito menyampaikan hal itu seusai menghadiri rapat terbatas pencegahan dan penanggulangan terorisme yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla serta para menteri Kabinet Kerja.

"Saya sepakat dengan Panglima TNI. Saya yang minta bapak Panglima Marsekal Hadi (Tjahjanto) agar kekuatan TNI masuk ke operasi itu," kata Tito di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (22/5).

Tito menerangkan, operasi pemberantasan teroris di Indonesia memang 75 persennya bersifat intelijen. Sementara, penindakan sebesar 5 persen dan 20 persen itu pemberkasan untuk ke proses peradilan.

Koopssusgab merupakan tim antiteror gabungan tiga matra TNI. Pasukan ini berasal dari Sat-81 Gultor Komando Pasukan Khusus milik TNI Angkatan Darat, Detasemen Jalamangkara TNI Angkatan Laut dan Satbravo 90 Komando Pasukan Khas dari TNI Angkatan Udara.

Sedangkan untuk sejumlah anak yang juga menjadi korban ideologi teroris kedua orang tuanya seperti yang terjadi di Surabaya, Tito mengaku bahwa pemerintah sedang mengupayakan langkah-langkah pencegahan agar anak-anak tidak terekspose paham radikal. "Tapi Polri tidak bisa kerja sendiri."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement