Rabu 23 May 2018 05:07 WIB

Kontroversi Definisi Terorisme

Ada perbedaan pandangan dalam frasa ideologi, politik, dan keamanan negara.

Ilustrasi Terorisme
Foto:

Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto membantah ada perbedaan pandangan antara Detasemen Khusus 88 Antiteror dan Kapolri Jenderal Muhammad Tito Karnavian terkait definisi terorisme dalam pembahasan RUU Antiterorisme. "Tidak ada, kita selalu satu komando, kalau kapolri sudah katakan A, sampai ke bawah A. Jadi tidak ada Densus dan kapolri beda," ujar Setyo di Markas Besar Polri, Selasa (22/5).

Setyo mengakui, adanya perbedaan pandangan dalam frasa ideologi, politik, dan keamanan negara yang masuk definisi terorisme dalam pembahasan RUU Antiterorisme antara Polri dan DPR. Kendati demikian, ia berharap, baik Polri maupun pemerintah dan DPR dapat segera menemukan titik temu.

"Rencana besok akan dirapatkan lagi, semoga sudah ada titik temu," kata dia.

Perbedaan definisi ini merupakan 'ganjalan' yang menyebabkan tidak segera disahkannya RUU Antiterorisme. 

Pendapat Yusril tentang definisi terorisme

Menteri Hukum dan Perundang-undangan periode 2001-2004 Yusril Ihza Mahendra sebelumnya menyampaikan alasan tidak mendefinisikan terorisme dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002. Perppu ini kemudian disahkan menjadi UU 15/2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme pada April 2003.

"Pada waktu itu, masalah yang sama (perdebatan definisi terorisme) sudah muncul. Dan saya mengambil kebijakan untuk tidak mendefinisikan terorisme, tapi menyebutkan perbuatan mana saja atau apa saja yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan terorisme," kata Yusril.

Menurut Yusril, definisi itu akan selalu menimbulkan perdebatan dan selalu tidak bisa mencakup segala hal yang ingin dimuat. "Lihat contohnya, kita mau mendefinisikan manusia, apa manusia itu, kan enggak selesai-selesai. Jadi, enggak ada gunanya," ujar guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia ini.

Terlebih, lanjut Yusril, yang terpenting dalam penyusunan produk hukum adalah rumusan yang jelas, tidak multitafsir, dan mengandung kepastian hukum. Karena itu, Yusril menilai pendefinisian terorisme itu tidak perlu dan cukup menyusun berbagai perbuatan yang termasuk sebagai tindakan terorisme.

"Jadi, barang siapa meledakkan bom yang mengancam keselamatan jiwa orang lain adalah tindakan terorisme. Itu kan jelas. Jelas artinya. Jadi enggak usah didefinisikan teroris itu apa. Disebutkan saja perbuatan apa saja yang dikatakan sebagai terorisme, bukan membuat definisinya," ujarnya.

Di beberapa negara, Yusril mengakui, ada yang mendefinisikan terorisme dan ada juga yang tidak. Namun, di negara yang mendefinisikan terorisme, terjadi kontroversi soal definisi yang dibuat. Bahkan, menurut dia, pendefinisian terorisme juga akan menyulitkan hakim saat memutus perkara terorisme.

Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla (JK) menilai, semestinya polemik mengenai definisi terorisme tidak perlu diperdebatkan. Menurutnya, hal yang terpenting yakni masyarakat mengetahui bahwa teroris menganggu keamanan negara, dan membunuh orang tanpa perhitungan.

"Kalau saya tidak berkelahi di definisi tapi yang penting orang tahu kalau teroris itu mengganggu keamanan negara, ingin mengubah arah negara, ingin membunuh orang tanpa perhitungan. Begitulah kurang lebih," ujar JK ketika ditemui di kantornya, Selasa (22/5). (Pengolah: fitriyan zamzami).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement