Selasa 22 May 2018 07:07 WIB

Narasi Terorisme

Sebagian melakukan aksi terorisme semata-mata membalas dendam.

Sejumlah sepeda motor terbakar sesaat setelah terjadi ledakan di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5).
Foto:

Perubahan strategi

Terorisme merupakan masalah bersama. Karena itu, tidak seharusnya polisi bekerja sendiri. Perlu keterlibatan berbagai pihak, termasuk masyarakat. Pemberantasan terorisme tidak boleh dilakukan dengan cara-cara teror dan menimbulkan terorisme baru.

Peliputan langsung aksi pemberantasan terorisme oleh media tidak kalah sadisnya dengan film action. Karena itu, tidak seharusnya aksi penyerangan, baik oleh polisi maupun teroris terus-menerus ditayangkan.

Polisi bisa memberikan informasi terorisme ke media melalui konferensi pers, dengan data-data yang akurat. Walaupun sudah cukup informasi, Pemerintah Inggris dan Jerman tidak langsung menjelaskan aksi terorisme.

Informasi yang simpang siur apalagi salah dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap profesionalisme dan kinerja polisi. Dalam kasus bom Surabaya, polisi sempat menyebut pelaku pergi ke Suriah. Belakangan polisi meralat bahwa yang ke Suriah adalah guru pelaku.

Langkah lainnya adalah bermitra dengan masyarakat. Polisi dan intelijen memiliki data mereka yang masuk daftar pencarian orang atau mereka yang terindikasi kuat terpapar radikalisme.

Misalnya, beberapa waktu lalu, BIN menyebut 39 persen mahasiswa terpapar radikalisme. Seharusnya, polisi dan BIN bisa berkomunikasi dengan pimpinan perguruan tinggi atau pimpinan ormas tentang data mereka.

Berbekal data tersebut, pimpinan perguruan tinggi dan ormas bisa melakukan pembinaan dan mentoring ideologis: politik dan keagamaan. Model kerja sama ini bisa menjadi alternatif mengurangi atau mencegah terorisme.

Pendekatan militeristik termasuk dengan pelibatan TNI tidak akan efektif dan mencegah terorisme. Polisi perlu mengeksplorasi berbagai model dan pendekatan agar pemberantasan terorisme tidak menjadi ritual tahunan.

Sesungguhnya, masyarakat sudah lelah dan jenuh dengan narasi terorisme. Ada gejala masyarakat mulai apatis dan menilai terorisme sebagai "bisnis" aparatur keamanan.

Gejala apatisme, prejudice, dan stereotype tidak boleh dianggap sepele karena berpotensi memecah belah bangsa. Pemberantasan terorisme harus menumbuhkan kepercayaan dan rasa aman bagi masyarakat, bukan ketakutan akibat narasi kekerasan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement