Senin 21 May 2018 18:44 WIB

Mei 1998 dari Kacamata Jurnalis

Tragedi Trisakti memperparah kondisi Ibu Kota yang sudah mencekam.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Muhammad Hafil
Reformasi Mei 1998.
Foto: Strait times
Reformasi Mei 1998.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi demonstrasi mahasiswa terbesar sepanjang sejarah Indonesia terjadi pada 20 tahun lalu, 21 Mei 1998. Pada saat itu ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR untuk mendesak diturunkannya Presiden Soeharto.

Gerakan mahasiswa untuk menggulingkan Soeharto telah direncanakan dari jauh- jauh hari. Menurut jurnalis senior Republika yang menjadi saksi peristiwa bersejarah tersebut, Muhammad Subarkah, sejak 10 hari sebelumnya suasana Ibu Kota sudah mencekam. Kondisi itu diperparah terjadinya Tragedi Trisakti yang menewaskan empat orang mahasiswa dan ratusan lainnya luka- luka.

Jalan- jalan utama seperti wilayah Kuningan, Thamrin, dan Sudirman dipasang barikade oleh kepolisian. Barikade tersebut untuk menghalangi massa mahasiswa yang makin gencar melakukan aksi demonstrasi mereka.

Subarkah yang kala itu merupakan wartawan muda ditugaskan meliput berbagai peristiwa yang terjadi di Ibu Kota. "Suasana mencekam. Gedung- gedung mati karena krisis ekonomi. Banyak mobil dibakar. Penjarahan di mana- mana," ujarnya, Senin (21/5).

Subarkah menuturkan, tragedi yang menimpa mahasiswa Trisakti dan kerusuhan rasial kala itu tidak menyurutkan semangat mahasiswa untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Hari-hari itu, tuntutan mahasiswa agar Soeharto mundur makin menjadi- jadi. Mahasiswa banyak yang berkemah di wilayah gedung DPR/MPR. Masyarakat pun turut mendukung, ditandai dengan banyaknya kiriman makanan untuk mereka.

Kemudian, Amien Rais, yang saat itu merupakan tokoh Muhammadiyah, menyarankan untuk mengadakan aksi demonstrasi di Monumen Nasional (Monas) pada 20 Mei 1998. Amien Rais menjadi titik sentral pergerakan mahasiswa saat itu. Bahkan, keterlibatannya menuai kontroversi. Pemerintah bahkan berencana untuk menangkapnya.

Para mahasiswa saat itu melakukan rapat koordinasi di sebuah rumah di Menteng untuk membahas perencanaan aksi. Rencana pengerahan massa ke Monas, yang letaknya di depan Istana, rupanya menggelisahkan. Pihak Presiden saat itu mendatangi Amien Rais untuk meminta dihentikannya rencana tersebut.

"Karena rencana demo di Monas tidak jadi, massa kembali menyasar gedung DPR," katanya.

Kemudian, pada tanggal 21 Mei 1998, massa berbondong-bondong masuk ke dalam wilayah gedung DPR/MPR. Saat itu pagar wilayah parlemen, yang tadinya dikunci, mendadak dibuka dan membiarkan massa masuk. Mahasiswa bahkan memanjat hingga atap gedung yang berwarna hijau.

Awalnya pidato berhentinya Soeharto akan dilakukan di gedung DPR/MPR. Namun, karena tidak memungkinkan akibat banyaknya massa mahasiswa, Soeharto menyatakan lengser di Istana Negara. Parlemen menyediakan televisi agar para mahasiswa bisa menyaksikan pidato mundurnya Soeharto di sana.

Sorak sorai mahasiswa bergemuruh kala Soeharto dinyatakan lengser dan digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie. "Banyak yang tidur di sekitar gedung MPR. Udah kayak pasar. Mungkin sekitar dua minggu gedung parlemen lumpuh," katanya.

Peristiwa besar tersebut terjadi di kala teknologi masih belum secanggih sekarang. Komunikasi sangat sulit dan hanya mengandalkan telepoin koin serta mesin faksimile. Kendaraan umum juga banyak yang berhenti beroperasi.

"Makanya di saat ekonomi sulit itu justru tukang ojek yang beroperasi. Satu- satunya transportasi yang bisa digunakan," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement