REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hasto Atmojo Suroyo merespons rencana Polri menjadikan anak-anak korban teror bom sebagai saksi kunci. Menurutnya, ada perlakuan khusus jika harus mengambil keterangan dari anak-anak.
"Ada treatment khusus yang bisa kita lakukan kalau saksinya anak-anak," ujar Hasto kepada Republika, Jumat (18/5).
Perlakuan khusus itu, jelasnya, dibutuhkan agar anak tersebut tetap merasa nyaman ketika memberikan kesaksiannya. Sekaligus tidak merasa terintimidasi oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
"Supaya mereka tidak merasa terintimidasi atau terancam," ungkapnya.
Misalnya, ujar Hasto, model pemeriksaan bisa dilakukan dengan cara bermain atau dengan cara lainnya yang merupakan dunia anak-anak. Begitupun bentuk pertanyaannya tidak akan seperti yang biasa diajukan kepada orang dewasa.
"Model investigasinya seperti bermain, jadi ada teknik khusus tidak seperti (meminta kesaksian) pada orang dewasa," terangnya.
Begitupun, sambung dia, saat keterangan saksi ini dibutuhkan di pengadilan. Maka pernyataan anak-anak ini bisa didapat dengan menggunakan metode telekonferensi.
"Bila perlu teleconference, kalau takut dengan suasana di pengadilan, jadi dia tidak
Menurutnya, anak-anak pelaku teror bom kemungkinan besar akan menjadi saksi untuk kasus penyerangan yang dilakukan orangtuanya. Status anak-anak itu sendiri telah disepakati oleh kepolisian sebagai korban.
"Kondisi mereka sekarang masih trauma, tapi potensinya mereka menjadi saksi," ungkap Hasto.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengatakan bahwa anak-anak ini akan menjadi saksi kunci atas penyerangan yang terjadi di Surabaya pada Ahad (13/5) dan Senin (14/5) lalu. Hanya saja seperti hanya keterangan dari Kabid Humas Polda Jawa Timur Komisaris Besar Polisi Barung Mangera, bahwa untuk saat ini kepolisian fokus pada pemulihan kesehatan anak-anak tersebut.