Rabu 16 May 2018 10:43 WIB

RUU Terorisme, Mengapa Pemerintah-DPR Belum Satu Kata?

Sejauh ini, definisi terorisme menjadi satu-satunya poin yang belum disepakati.

Teror Bom (ilustrasi)
Foto:

Wakil Ketua DPR Agus Hermanto membantah tudingan adanya fraksi di luar pemerintah yang sengaja menunda pengesahan revisi UU Antiterorisme. Agus menjelaskan, pada saat pengambilan keputusan, pemerintahlah yang justru meminta pengesahan RUU Terorisme ditunda untuk menyamakan persepsi dan definisi terorisme tersebut.

"Kita sepakat juga (pengesahan) akan kita laksanakan setelah selesai masa reses ini sehingga insya Allah, bulan yang ditargetkan bulan Juni, dapat selesai dari revisi UU Terorisme," kata Agus di Kompleks Parlemen Senayan, kemarin.

Politikus Partai Demokrat tersebut menambahkan, hari pertama yang akan dilakukan DPR setelah reses yaitu menggelar rapat dengar pendapat antara Pansus Revisi UU Antiterorisme dan pemerintah untuk menyamakan masalah definisi terorisme tersebut.

Pengamat aksi terorisme, Haris Abu Ulya, mengkritik ultimatum Presiden Joko Widodo soal penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) bila UU Antiterorisme tak kunjung direvisi. "Kita boleh panas hati dan sedih, tapi pikiran harus jernih. Harus objektif, supaya produk dari pikiran yang jernih itu adalah hasil yang baik, tertuang dalam subtansi revisi UU Antiterorisme," ujar Haris, Selasa (15/5).

Ia mengatakan, untuk kepentingan pemberantasan terorisme, tidak masalah UU Antiterorisme direvisi. “Asalkan hasil revisi itu yang paling baik, mengakomodasi semua variabel yang dibutuhkan. Jadi, mulai dari kejelasan definisi terorisme, kemudian mengatur bagaimana kalau TNI terlibat dan harmonisasinya. Supaya tidak tumpang-tindih kepentingan," kata dia.

Menurut dia, salah satu yang perlu dicermati dari rancangan revisi ada pada pasal 43A yang kerap disebut “Pasal Guantanamo” merujuk pada penjara ekstrayudisial milik AS terkait terorisme di wilayah Kuba. Di tempat itu pada 2003 diketahui disembunyikan ratusan orang karena terkait jaringan teroris. Pasal ini menyebutkan, dalam konteks pencegahan, penyidik atau penuntut berhak menahan terduga teroris untuk proses pembuktian.

Salah satu yang menjadi pertimbangan menghapus pasal ini, kata Haris, terkait dengan hak asasi manusia (HAM). "Karena yang dihadapi ini bukan segerombolan hewan, tapi manusia. Negara ini negara hukum, artinya aparat negara adalah alat negara yang diberikan kekuasaan untuk menjalankan UU," kata dia menekankan.

(febrianto adi saputro/idealisa masyrafina, Pengolah: fitriyan zamzami)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement