Senin 14 May 2018 12:53 WIB

Psikolog Ungkap Alasan Ortu Libatkan Anaknya dalam Terorisme

Minimnya nilai empati dan simpatik bisa jadi pemicu false believe keluarga.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Indira Rezkisari
Sejumlah sepeda motor terbakar sesaat setelah terjadi ledakan di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5).
Foto: Antara/Humas Pemkot-Andy Pinaria
Sejumlah sepeda motor terbakar sesaat setelah terjadi ledakan di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog Ayoe Sutomo menjelaskan, keterlibatan anak dalam insiden bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo ada Ahad (13/5) hampir bisa dipastikan karena adanya false believe dalam keluarga. Terdapat kesalahan keyakinan yang dialami orang tua dan menurun ke sang anak hingga mereka terbawa dalam arus.

Ayoe menjelaskan, orang tua memiliki peranan besar dalam insiden ini. Terlebih, anak yang terlibat masih berada di bawah umur, artinya semua keputusan besar dalam hidup mereka berada di bawah kontrol orang tua.

"Baik secara hukum dan psikologis, anak-anak itu belum bisa mengambil keputusan secara matang. Sehingga false believe yang ada pada diri orang tua ikut menurun ke anak," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (14/5)

Tentang alasan false believe bisa masuk ke ranah keluarga, banyak faktor yang bisa menjadi tinjauan hingga mereka bisa tercuci otaknya. Jika dari sudut pandang psikologis, kemungkinan proses ini berawal dari tidak adanya keyakinan kuat terhadap nilai yang benar dan salah sejak kecil. Termasuk di antaranya nilai empati dan simpatik.

Karena nilai-nilai tersebut tidak dimasukkan dari kecil, ada momentum kosong pada diri mereka. Momentum ini dirasakan ketika seseorang berada di grafik kehidupan paling bawah, yakni ketika nilai-nilai baru mudah masuk dalam pikiran mereka.

"Sedangkan, nilai baru itu belum tentu benar. Misalnya saja pemahaman tentang bom bunuh diri ini," ucap Ayoe.

Proses masuknya nilai ini dilakukan secara bertubi-tubi. Selain itu, proses cuci otak selalu dilakukan secara terstruktur oleh organisasi besar. Mereka biasanya memiliki metode tersendiri agar keyakinan sang target mampu beralih dari satu kepercayaan ke kepercayaan baru. Di antaranya, mengajak keluarga untuk meledakkan diri bersama-sama.

Sebelumnya, terjadi ledakan bom di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Diponegoro Surabaya, Jawa Timur, pada Ahad (13/5) pukul 07.45 WIB. Insiden ini diduga dilakukan seorang ibu yang membawa dua anak usia di bawah lima tahun (balita). Ibu bersama dua anaknya itu tewas seketika di lokasi kejadian.

Ibu tersebut merupakan istri dari pria yang juga membawa bom bunuh diri ke gereja lain. Dua anak mereka yang lain juga turut membawa bom bunuh diri ke gereja lainnya lagi. Keenamnya tewas dalam insiden bom Surabaya tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement