REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jodoh menjadi salah satu hal yang diiming-imingi oleh kelompok teror ketika merekrut perempuan. "Mau ngapain kalau usia menikah, tetapi belum menikah? Ini kan yang akan diberikan oleh kelompok itu jodoh. Itu sebagai solusinya," kata Psikolog Universitas Indonesia yang mendalami masalah terorisme, Mira Noor Milla, kepada Republika, Ahad (13/5).
Keberadaan pasangan hidup bagi perempuan dianggap akan mampu mengisi kekosongan kebermaknaan identitas. Dengan pemikiran ini, identitas perempuan dianggap sangat bergantung dari pasangan mereka.
"Disempurnakan oleh pasangan hidupnya. Jadi ini identitas yang dipenuhi oleh ideologi," kata Mira.
Menurut Mira, si pria nantinya berperan sebagai mentor dalam level operasional. "Bukan mentor tertinggi, tapi mentor operasional. Jadi suaminya itu mentornya dia," kata dia.
Mira menceritakan, proses pernikahan itu terkadang dilakukan tanpa tatap muka. Awalnya, perempuan itu berkenalan dengan kelompok teroris melalui media sosial.
Mira menjelaskan setelah menjadi target, perempuan ini dipantau aktivitasnya di media sosial. Pada tahap tertentu, ada pertemuan tatap muka sebagai bagian proses radikalisasi.
Dalam pertemuan tatap muka biasanya dilakukan oleh sesama perempuan yang berperan sebagai mentor. Perempuan lain ini juga bisa berperan sebagai guru, atau seniornya.
Menurut Mira, mentor inilah yang melakukan doktrinasi awal. Pertemuan ini semakin intensif sehingga target tak sadar ia telah didoktrin dengan pemahaman radikal.
"Baru di situ akan ditawari gimana kalau kamu dinikahkan dengan siapa? Nahsiapanya itu adalah dengan orang jaringan (teroris)," tutur Mira.
Pernikahan itu terkadang hanya dilakukan melalui perantaraan dunia maya, terutama ketika kedua mempelai berada di negara yang berbeda. Bahkan, Mira menerangkan, hingga melakukan aksi, ada pula perempuan yang sama sekali belum pernah bertatap muka langsung dengan suaminya.
Dalam beberapa kasus, dia mengatakan, sasaran pernikahan model seperti ini adalah tenaga kerja wanita (TKW). TKW menikah dengan anggota jaringan teroris dilakukan tanpa tatap muka.
Pernikahan berlangsung dengan media internet. Bahkan, hingga perempuan itu melakukan aksinya,ia tidak pernah bertemu dengan suaminya.
"Jadi suaminya di Indonesia, dia di Taiwan atau di mana. Jadi sampai menikah itu nggak pernah ketemu suaminya, sampai dia mau melakukan aksi, tapi kemudian ditangkap di Indonesia," ujar Mira.
Mira menambahkan TKW memang menjadi salah satu kelompok yang rentan direkrut menjadi teroris perempuan. TKW yang masuk dalam jaringan umumnya sudah lama bekerja, tetapi tidak mengalami perubahan status ekonomi yang signifikan.
Menurut Mira, para TKW awalnya tertarik dengan ideologi yang dibawa oleh para teroris melalui media sosial dan internet. Kemudian, dia mengatakan mereka dinikahi oleh anggota kelompok teroris.
Tak jarang, mereka menjadi istri kedua atau ketiga. Mereka disiapkan untuk menjadi pelaku aksi teror.
Bahkan, sebagian teroris perempuan yang sudah terdoktrin itu melakukan aksinya saat hamil. Proses cuci otak bisa dilakukan saat mereka masih di luar negeri, maupun setelah kembali ke Indonesia.