REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peran perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia mulai mengalami perubahan. Mereka kini mulai terlibat aktif dan memegang peran yang lebih variatif.
Psikolog yang mendalami masalah terorisme dari Universitas Indonesia, Mira Noor Milla, mengatakan fenomena ini muncul dua tahun terakhir. "Awalnya itu kan perempuan itu tidak pernah dilibatkan," kata Mira saat dihubungi Republika, Ahad (13/5).
Bahkan, perempuan tidak mengetahui suami atau anggota keluarganya yang laki-laki telah tergabung dalam jaringan terorisme. Hal ini tampak dalam penyidikan kasus bom Bali. Istri para pelaku ketika itu tidak mengetahui suaminya telah melakukan aksi pengeboman.
Sejak kemunculan gembong teroris asal Malaysia, Nurdin M Top, perempuan mulai dibiarkan mengetahui keterlibatan pasangannya. Mereka mulai menampakkan dukungan terhadap aksi yang dilakukan suami atau anggota keluarganya. Namun, sampai di sini, peran mereka masih bersifat pasif.
Peran aktif perempuan dalam aksi terorisme mulai tampak setelah muncul kelompok-kelompok yang menyatakan dukungan kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Pada Agustus 2017, seorang perempuan asal Bekasi, Dian Yulia Novi, ditangkap karena berusaha meledakkan bom panci di depan Istana Negara.
Rentetan kasus terbaru memperkuat data tersebut. Setelah kerusuhan narapidana terorisme di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, dua perempuan ditangkap karena diduga mencoba menyerang polisi menggunakan gunting.
Sehari setelahnya, atau pada Ahad (13/5), seorang perempuan diduga meledakkan dirinya di sebuah gereja di Surabaya, Jawa Timur. Ia juga membawa dua anak perempuannya dalam aksi tersebut.
Mira mengatakan dia telah mewawancarai sekitar enam teroris perempuan. Sebagian kini berada di rutan Mako Brimob. Mereka memegang peran aktif mulai dari penyandang dana, perakit bom, perekrut perempuan lain, hingga pelaku peledakan.
Sebagai penyandang dana, mereka menjalankan bisnis dan bisa dikatakan cukup berhasil. Namun, dana yang dikumpulkan digunakan untuk membiayai kebutuhan kelompok teror.
"Dananya itu digunakan untuk memberangkatkan orang ke Suriah, dana untuk umat, untuk umat-umat dia maksudnya, untuk orang-orang yang butuh kalau mau bertujuan dakwah atau berjuang untuk kelompok ya, dia kasih uangnya," ujar Mira.
Mira berpendapat pelibatan perempuan dalam aksi teror akhir-akhir ini sengaja dilakukan. Mereka menjadi ‘senjata’ untuk menghasilkan serangan-serangan baru setelah pelaku laki-laki semakin mudah dicurigai.
Semakin sulit mereka diidentifikasi, semakin besar kemungkinan aksis teror tersebut berhasil. Hal ini diperlukan di tengah situasi yang semakin sulit.
"Sekarang untuk mengumpulkan bahan peledak kan tidak semudah dulu," kata Mira.